Kebahagiaan adalah kata yang paling enak didengar, indah untuk dibayangkan namun paling pahit untuk diraih. Sebab kebahagiaan sudah menjadi cita-cita yang tertulis di setiap benak manusia. Di setiap pagi, siang, sore maupun malam telah menjadi topik yang hangat untuk selalu dibicarakan. Jika di suatu tempat ada kebahagiaan, maka manusia pun berbondong-bondong menuju kesana walaupun melintasi aral dan duri.
Banyak orang yang berangan-angan dan berkata, “Aku ingin bahagia”, namun ketika dihadapkan kepada jalan menuju kebahagiaan, maka ia berkata, “Itu bukan jalan hidup saya, saya tidak mau menempuh jalan itu, dan berbagai alasan lainnya setelah ia mengetahui bahwa jalan menuju kebahagiaan itu begitu terjal dan dipenuhi dengan onak dan duri. Hal ini menunjukkan bahwa kesungguhannya meraih kebahagiaan hanyalah isapan jempol.
Demikianlah jalan kebahagiaan yang telah digariskan oleh Allah –Ta’ala-, penuh dengan rintangan dan cobaan. Hal ini untuk mengetahui benar tidaknya pengakuan keimanan seorang hamba. Sebagaimana firman Allah –Subhana Wa Ta’ala-,“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
(QS. Al-Mulk: 2)
Namun sayangnya, karena ketidaksabaran dan mengikuti hawa nafsu membuat kebanyakan manusia enggan menempuh jalan kebahagiaan yang telah ditetapkan oleh Allah –Ta’ala-. Jalan-jalan kebahagiaan yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul, telah ditinggalkan oleh kebanyakan orang.
Ketika mengajak manusia untuk men-tauhid-kan Allah, menegakkan sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan mentaati para ulama dan penguasa dalam hal yang ma’ruf, maka kita akan mendapatkan perlawanan yang hebat dari kaum muslimin sendiri. Ironinya, justru yang paling keras kebenciannya adalah orang-orang yang dianggap paham agama, karena merasa seruan tersebut sebagai penghalang dakwah dan bertentangan dengan tujuan kelompok.
Oleh karena itu, kali ini buletin akan memaparkan beberapa jalan menuju kebahagian baik di dunia maupun di akhirat berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih :
* Bertaqwa kepada Allah –Ta’ala-
Kata “TAQWA” sering terlintas di telinga kita dari lisan para khotib dihari jum’at. Namun, begitu banyaknya kaum muslimin yang menyepelekannya hingga kehidupannya sangat jauh dari bingkai ketaqwaan.
Lantas apa TAQWA itu? Para ulama telah menjelaskan batasan dan definisi taqwa. Diantaranya, Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahani mendefenisikan, ”Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa , dengan cara meninggalkan apa yang dilarang, dan hal itu menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”[Lihat Al-Mufrodat fi Ghoribil Qur’an (hal. 545)].
Al-Imam An-Nawawi mendefenisikan taqwa dengan, ”Mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.”
[Lihat Tahrir Alfazh At-Tanbih (hal. 322)].
Oleh karena itu, orang yang tak menjaga dirinya dari perbuatan dosa, dan mengabaikan perintah Allah, maka dia bukanlah termasuk orang yang bertaqwa. Padahal, ketaqwaan itu merupakan kunci kebahagiaannya di dunia dan diakhirat. Allah –Ta’ala- berfirman,“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi rezki dari arah yang dia tidak sangka-sangka”
(QS. Ath-Thalaq :2-3).
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, ”Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas di benaknya.”
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/400)]
Bahkan Allah – Subhana Wa Ta’ala- menjanjikan bagi orang-orang yang bertaqwa, akan dilimpahkan berkah dari langit dan bumi sebagaimana firman-Nya,
“Jikalau sekiranya penduduk negri-negri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri” . ( Al-A’raf :96).
Karenanya, setiap orang yang menginginkan kebahagiaan dan keluasan rezki serta kemakmuran hidup, maka hendaknya ia mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Janganlah mencari kebahagian itu dengan cara yang haram bahkan sampai bersusah payah ke dukun, sebab dukun itu sendiri bersusah payah mencari kebahagiaannya dengan cara menipu manusia.
* Bertaubat dan ber-istighfar .
Kebanyakan manusia, menyangka bahwa istighfar dan taubat cukup dengan lisan saja. Sehingga istighfar-nya tidak memberikan pengaruh didalam hatinya dan anggota badannya. Akhirnya, ia tak jujur dalam taubatnya, dan terus larut dalam dosa.
Para ulama telah menjelaskan hakekat taubat dan istighfar. Diantaranya Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahani menerangkan, ”Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukannya, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan memperbaiki amalan (yang sholeh) dengan cara mengulanginya. Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”.
[Lihat Al-Mufrodat fii Ghoribil Qur’an (hal. 83)]
Al-Imam An-Nawawi berkata,” Para ulama berkata, ”bertaubat dari seluruh dosa hukumnya adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia harus menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatannya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya berkaitan dengan orang lain, maka syaratnya ada empat. Yaitu, ketiga syarat yang telah disebutkan diatas dan ke empatnya, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya, maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya, maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.”
[Lihat Bahjatun Naazirin Syarh Riyadhish Sholihin (hal. 49)]
Pembaca yang mulia, istighfar dan taubat merupakan sebab-sebab kebahagiaan seseorang dan sebab keluarnya karunia Allah –Ta’ala- dari langit dan bumi. Sebagaimana yang telah diucapkan Nabi Nuh –‘alaihi salam- kepada kaumnya di dalam Al-Qur’an,
“Maka aku katakan kepada mereka,’mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai, ”
( QS.Nuh :10-12).
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, ”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadanya dan kalian senantiasa mentaatinya, niscaya Dia akan membanyakkan rezki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang didalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/449)]
Begitu besar dan banyaknya buah dari istighfar dan taubat berupa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bahkan, barangsiapa yang ingin diberi kebahagiaan yang terus menerus, maka hendaklah selalu beristighfar dan bertaubat berdasarkan firman Allah,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.”
(QS. Hud :3)
Oleh karena itu, seyogyanya bagi seorang muslim untuk senantiasa mengamalkan amalan ini. Sebab, dengan melaksanakannya, Allah akan menjamin kebahagiaannya dan menganugrahkan kenikmatan yang baik sampai pada waktu yang telah ditentukan.
* Berinfaq di Jalan Allah
Infaq atau sedekah merupakan amal kebaikan yang memiliki kedudukan yang tinggi didalam islam. Selain sedekah mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah – Subhana Wa Ta’ala-, ia juga makin mempererat hubungan antara sesama manusia. Sebab, sedekah dapat melapangkan kesempitan, menghentikan dari meminta-minta, membantu orang yang lapar menjadi kenyang, memberikan kegembiraan kepada anak kecil, menyenangkan hati orang dewasa dan menciptakan kebahagiaan ditengah-tengah kaum muslimin.
Begitu banyaknya keutamaan sedekah sehingga ia bisa menjadi perisai dari api neraka. Memang wajar jika sedekah menjadi salah satu jalan menuju kebahagiaan. Banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa orang yang berinfaq di jalan Allah akan diberi ganti oleh Allah di dunia, dan ia akan meraih pahala yang besar di akhirat.
Allah – Azza Wa Jalla- berfirman,“Dan apa saja yang kamu infaq-kan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dialah Pemberi rizki sebaik-baiknya.”
(QS. Saba’ :39).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Betapapun sedikitnya apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diperbolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran”.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/595)]
Allah berjanji akan menggantikan apa saja yang diinfakkan di jalan-Nya. Sedangkan janji Allah adalah benar, tak ada keraguan di dalamnya. Karenanya, seyogyanya kaum muslimin berlomba untuk meraihnya, dan jangan takut dan ragu terhadap janji Allah, saat setan menakut-nakutimu dengan kafakiran.
Allah - Azza Wa Jalla-berfirman,“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah : 268)
Saat menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- berkata, ”Dua hal dari Allah dan dua hal dari setan.”Setan menjanjikan(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan”. Setan itu berkata, ’jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya’. ”Dan dia menyuruhmu berbuat kajahatan (kikir). Dua hal dari Allah, “Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya”, yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, dan “ karunia” berupa rizki.
[Lihat Tafsir Ath-Thabari (5/571/ no. 6168).
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pula telah memberi kabar gembira kepada kaum muslimin agar jangan takut bersedekah.
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدُ لِلّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Sedekah itu tidak mengurangi harta ; Allah tidak menambahkan kepada seorang hamba karena memberi maaf, kecuali kemuliaan; tidaklah seorang merendah hati karena Allah, kecuali derajatnya akan diangkat oleh Allah”.
[HR. muslim dalam Kitab Al-Birri (2588)]
Walhasil , inilah beberapa jalan-jalan kebahagiaan yang sempat kami sajikan. Masih banyak jalan-jalan yang belum sempat kami sebutkan karena keterbatasan ruang. Pegang teguhlah amalan-amalan ini, niscaya kalian akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebab kebaikan adalah dengan berpegang teguh terhadap sesuatu yang disyari’atkan Allah; keburukan segala-galanya adalah dengan berpaling darinya.
Allah -Ta’ala- berfirman,"Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia ‘Ya Tuhanku, mengapa engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman,’Demikianlah, telah dating kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya dan begitu(pula)pada hari ini kamu pun dilupakan.”
(QS. Thoha: 124-126).
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 103 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
Sumber Artikel : almakassari.com
Demikianlah jalan kebahagiaan yang telah digariskan oleh Allah –Ta’ala-, penuh dengan rintangan dan cobaan. Hal ini untuk mengetahui benar tidaknya pengakuan keimanan seorang hamba. Sebagaimana firman Allah –Subhana Wa Ta’ala-,“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
(QS. Al-Mulk: 2)
Namun sayangnya, karena ketidaksabaran dan mengikuti hawa nafsu membuat kebanyakan manusia enggan menempuh jalan kebahagiaan yang telah ditetapkan oleh Allah –Ta’ala-. Jalan-jalan kebahagiaan yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul, telah ditinggalkan oleh kebanyakan orang.
Ketika mengajak manusia untuk men-tauhid-kan Allah, menegakkan sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan mentaati para ulama dan penguasa dalam hal yang ma’ruf, maka kita akan mendapatkan perlawanan yang hebat dari kaum muslimin sendiri. Ironinya, justru yang paling keras kebenciannya adalah orang-orang yang dianggap paham agama, karena merasa seruan tersebut sebagai penghalang dakwah dan bertentangan dengan tujuan kelompok.
Oleh karena itu, kali ini buletin akan memaparkan beberapa jalan menuju kebahagian baik di dunia maupun di akhirat berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih :
* Bertaqwa kepada Allah –Ta’ala-
Kata “TAQWA” sering terlintas di telinga kita dari lisan para khotib dihari jum’at. Namun, begitu banyaknya kaum muslimin yang menyepelekannya hingga kehidupannya sangat jauh dari bingkai ketaqwaan.
Lantas apa TAQWA itu? Para ulama telah menjelaskan batasan dan definisi taqwa. Diantaranya, Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahani mendefenisikan, ”Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa , dengan cara meninggalkan apa yang dilarang, dan hal itu menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”[Lihat Al-Mufrodat fi Ghoribil Qur’an (hal. 545)].
Al-Imam An-Nawawi mendefenisikan taqwa dengan, ”Mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.”
[Lihat Tahrir Alfazh At-Tanbih (hal. 322)].
Oleh karena itu, orang yang tak menjaga dirinya dari perbuatan dosa, dan mengabaikan perintah Allah, maka dia bukanlah termasuk orang yang bertaqwa. Padahal, ketaqwaan itu merupakan kunci kebahagiaannya di dunia dan diakhirat. Allah –Ta’ala- berfirman,“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi rezki dari arah yang dia tidak sangka-sangka”
(QS. Ath-Thalaq :2-3).
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, ”Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas di benaknya.”
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/400)]
Bahkan Allah – Subhana Wa Ta’ala- menjanjikan bagi orang-orang yang bertaqwa, akan dilimpahkan berkah dari langit dan bumi sebagaimana firman-Nya,
“Jikalau sekiranya penduduk negri-negri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri” . ( Al-A’raf :96).
Karenanya, setiap orang yang menginginkan kebahagiaan dan keluasan rezki serta kemakmuran hidup, maka hendaknya ia mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Janganlah mencari kebahagian itu dengan cara yang haram bahkan sampai bersusah payah ke dukun, sebab dukun itu sendiri bersusah payah mencari kebahagiaannya dengan cara menipu manusia.
* Bertaubat dan ber-istighfar .
Kebanyakan manusia, menyangka bahwa istighfar dan taubat cukup dengan lisan saja. Sehingga istighfar-nya tidak memberikan pengaruh didalam hatinya dan anggota badannya. Akhirnya, ia tak jujur dalam taubatnya, dan terus larut dalam dosa.
Para ulama telah menjelaskan hakekat taubat dan istighfar. Diantaranya Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahani menerangkan, ”Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukannya, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan memperbaiki amalan (yang sholeh) dengan cara mengulanginya. Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”.
[Lihat Al-Mufrodat fii Ghoribil Qur’an (hal. 83)]
Al-Imam An-Nawawi berkata,” Para ulama berkata, ”bertaubat dari seluruh dosa hukumnya adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia harus menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatannya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya berkaitan dengan orang lain, maka syaratnya ada empat. Yaitu, ketiga syarat yang telah disebutkan diatas dan ke empatnya, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya, maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya, maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.”
[Lihat Bahjatun Naazirin Syarh Riyadhish Sholihin (hal. 49)]
Pembaca yang mulia, istighfar dan taubat merupakan sebab-sebab kebahagiaan seseorang dan sebab keluarnya karunia Allah –Ta’ala- dari langit dan bumi. Sebagaimana yang telah diucapkan Nabi Nuh –‘alaihi salam- kepada kaumnya di dalam Al-Qur’an,
“Maka aku katakan kepada mereka,’mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai, ”
( QS.Nuh :10-12).
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, ”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadanya dan kalian senantiasa mentaatinya, niscaya Dia akan membanyakkan rezki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang didalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/449)]
Begitu besar dan banyaknya buah dari istighfar dan taubat berupa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bahkan, barangsiapa yang ingin diberi kebahagiaan yang terus menerus, maka hendaklah selalu beristighfar dan bertaubat berdasarkan firman Allah,
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.”
(QS. Hud :3)
Oleh karena itu, seyogyanya bagi seorang muslim untuk senantiasa mengamalkan amalan ini. Sebab, dengan melaksanakannya, Allah akan menjamin kebahagiaannya dan menganugrahkan kenikmatan yang baik sampai pada waktu yang telah ditentukan.
* Berinfaq di Jalan Allah
Infaq atau sedekah merupakan amal kebaikan yang memiliki kedudukan yang tinggi didalam islam. Selain sedekah mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah – Subhana Wa Ta’ala-, ia juga makin mempererat hubungan antara sesama manusia. Sebab, sedekah dapat melapangkan kesempitan, menghentikan dari meminta-minta, membantu orang yang lapar menjadi kenyang, memberikan kegembiraan kepada anak kecil, menyenangkan hati orang dewasa dan menciptakan kebahagiaan ditengah-tengah kaum muslimin.
Begitu banyaknya keutamaan sedekah sehingga ia bisa menjadi perisai dari api neraka. Memang wajar jika sedekah menjadi salah satu jalan menuju kebahagiaan. Banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa orang yang berinfaq di jalan Allah akan diberi ganti oleh Allah di dunia, dan ia akan meraih pahala yang besar di akhirat.
Allah – Azza Wa Jalla- berfirman,“Dan apa saja yang kamu infaq-kan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dialah Pemberi rizki sebaik-baiknya.”
(QS. Saba’ :39).
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Betapapun sedikitnya apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diperbolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran”.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/595)]
Allah berjanji akan menggantikan apa saja yang diinfakkan di jalan-Nya. Sedangkan janji Allah adalah benar, tak ada keraguan di dalamnya. Karenanya, seyogyanya kaum muslimin berlomba untuk meraihnya, dan jangan takut dan ragu terhadap janji Allah, saat setan menakut-nakutimu dengan kafakiran.
Allah - Azza Wa Jalla-berfirman,“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah : 268)
Saat menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- berkata, ”Dua hal dari Allah dan dua hal dari setan.”Setan menjanjikan(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan”. Setan itu berkata, ’jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya’. ”Dan dia menyuruhmu berbuat kajahatan (kikir). Dua hal dari Allah, “Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya”, yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, dan “ karunia” berupa rizki.
[Lihat Tafsir Ath-Thabari (5/571/ no. 6168).
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pula telah memberi kabar gembira kepada kaum muslimin agar jangan takut bersedekah.
Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدُ لِلّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Sedekah itu tidak mengurangi harta ; Allah tidak menambahkan kepada seorang hamba karena memberi maaf, kecuali kemuliaan; tidaklah seorang merendah hati karena Allah, kecuali derajatnya akan diangkat oleh Allah”.
[HR. muslim dalam Kitab Al-Birri (2588)]
Walhasil , inilah beberapa jalan-jalan kebahagiaan yang sempat kami sajikan. Masih banyak jalan-jalan yang belum sempat kami sebutkan karena keterbatasan ruang. Pegang teguhlah amalan-amalan ini, niscaya kalian akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebab kebaikan adalah dengan berpegang teguh terhadap sesuatu yang disyari’atkan Allah; keburukan segala-galanya adalah dengan berpaling darinya.
Allah -Ta’ala- berfirman,"Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia ‘Ya Tuhanku, mengapa engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman,’Demikianlah, telah dating kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya dan begitu(pula)pada hari ini kamu pun dilupakan.”
(QS. Thoha: 124-126).
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 103 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)
Sumber Artikel : almakassari.com
0 comments:
Post a Comment