This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, March 30, 2011

Malapetaka Bagi Anak yang Durhaka

Anak Durhaka

Ingatlah: “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.”
(Adabul Mufrad no. 2, shahih)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ

“Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ”(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.”
(HR. Muslim no. 2551)
durhaka kepada orang tua,malapetaka anak durhaka,jangan durhaka

Beberapa faedah dari hadits ini:

1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan jelek bagi orang yang durhaka pada orang tua. Yang dimaksud “roghima anfuh” adalah hidungnya ditempeli debu. Dan maksud perkataan seperti ini adalah doa kejelekan yaitu doa kehinaan dan kefakiran.

2. Berbakti pada orang tua adalah menaati dan mendahulukan perintahnya, berakhlaq yang mulia di hadapannya, menjalin hubungan dengan koleganya dan selalu mendoakannya. Jadi, jangan dipahami bahwa namanya berbakti pada keduanya hanyalah menuruti apa yang mereka cita-citakan. Namun beraklaq yang mulia dan tutur kata yang baik juga merupakan kebaktian pada keduanya.

3. Berbakti pada orang tua merupakan suatu kewajiban baik di kala mereka berada di usia senja atau pun di usia muda.

4. Hadits ini dikhusukan berbakti pada mereka ketika usia senja (tua). Hal ini menunjukkan sangat ditekankannya berbakti ketika itu karena berbakti kepada keduanya ketika mereka berada pada usia senja terasa berat dan sulit.

5. Durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan dalam hadits lainnya, “Apakah kalian mau kuberitahu mengenai dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.”Beliau lalu bersabda,“(Dosa terbesar adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan [pada tangannya]. (Tiba-tiba beliau menegakkan duduknya dan berkata), “Dan juga ucapan (sumpah) palsu.” Beliau mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati), “Duhai, seandainya beliau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

6. Durhaka pada orang tua menyebabkan seseorang menjauh dari rahmat Allah dan berhak mendapat siksa neraka.

7. Contoh durhaka pada keduanya adalah enggan menaati perintahnya, berkata kasar pada keduanya, berakhlaq yang jelek pada keduanya dan sering membuat mereka merasa sedih.

8. Tidak boleh menaati kedua orang tua dalam rangka berbuat maksiat pada Allah. Menaati mereka hanyalah dalam kebaikan saja dan bukan dalam kemungkaran.

9. Berbakti pada orang tua adalah jalan menuju surga.

Demikian beberapa faedah dari hadits di atas.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai anak yang selalu berbakti kepada orang tua kita, apalagi jika diberi kesempatan dengan keberadaan di sisi kita.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Friday, March 25, 2011

Lezatnya Ketaatan Yang Dipertanyakan


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Banyak orang mengira bahwa menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya merupakan sebuah upaya yang sama sekali tidak menyenangkan, apatah lagi mendatangkan kelezatan. Namun, sebenarnya hal ini adalah sebuah perkara yang sudah dijelaskan oleh agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, orang yang merasa ridha Allah sebagai rabbnya, islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasulnya.”
(HR. Muslim).
Jelas sekali dari hadits yang mulia ini bahwa dengan sebab ketaatan seorang hamba akan bisa merasakan kenikmatan berupa manisnya keimanan.

Mengapa anggapan negatif semacam itu muncul, sehingga mengesankan bahwa jalan agama merupakan jalan yang tidak menjanjikan kenikmatan apa-apa? Banyak faktor yang mengelabui manusia sehingga membuat mereka memiliki persepsi yang salah semacam itu. Di antaranya adalah unsur kecintaan kepada dunia -yang notabene sementara dan fana- dan melupakan akherat -padahal akherat itu kekal dan abadi-. Dunia, dengan segenap perhiasannya telah banyak menipu orang.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan baginya balasan amalnya di sana dan mereka tak sedikitpun dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akherat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang mereka perbuat serta sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Huud: 15-16)

Gara-gara dunia, sebagian orang pun rela menjual agamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amal-amal, sebelum datangnya fitnah-fitnah bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang di pagi hari beriman namun di sore harinya menjadi kafir, atau sore harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan duniawi semata.”
(HR. Muslim)

Berbicara soal cinta dunia, tak bisa lepas dari godaan harta, wanita, ataupun tahta. Iblis dan bala tentaranya telah sekian lama berkecimpung dalam dunia ‘fitnah’ ini untuk menjebak manusia ke jurang-jurang kebinasaan, melalui pintu harta, wanita, atau tahta. Soal harta, bukanlah perkara yang ringan.

Sampai-sampai seorang sahabat yang mulia sekelas Umar bin Khattab pun mengakui dalam sebuah ucapannya, “Ya Allah, kami tidak mampu melainkan merasakan gembira terhadap sesuatu yang Kamu hiasi/jadikan indah bagi kami -yaitu harta, wanita, dan anak-anak-. Ya Allah, maka aku memohon kepada-Mu agar dapat menginfakkannya di jalannya yang benar.”
(HR. Bukhari secara mu’allaq).

Karena banyaknya orang yang tertipu oleh harta, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengingatkan kepada mereka. Beliau bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah rasa cukup di dalam hati.”
(HR. Bukhari).

Siapa yang mengatakan bahwa dengan dua atau tiga lembah emas manusia akan merasa cukup, dengan gaji dua atau tiga ratus juta per bulan orang akan merasa puas, siapa yang mengatakan…?

Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mempersaksikan, “Seandainya anak Adam itu memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan rongga/perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa pun yang mau bertaubat.”
(HR. Bukhari)

Di sisi lain, orang-orang yang berpeluh keringat dan pusing tujuh keliling di atas jalan ketaatan merasakan bahwa apa yang mereka lakukan tidak mendatangkan keuntungan duniawi apa-apa. Waktu mereka ‘terbuang’, harta mereka ‘berkurang’, keinginan mereka terkekang; seolah-olah dunia ini telah menjadi sebuah penjara besar yang memasung segala keinginan dan harapan mereka untuk mencapai kenikmatan.

Janganlah anda heran, sebab memang demikianlah keadaan orang-orang yang belum mengenali karakter kehidupan dunia dan kebahagiaan sejati yang akan dirasakan oleh setiap mukmin di dalamnya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Dunia ini laksana seorang wanita pelacur yang tak pernah mau setia kepada satu suamipun melainkan sebatas harga transaksi pelacuran…” Maka orang yang tertipu oleh dunia adalah orang yang rela menjual agama dan kehormatannya demi meraih kenikmatan semu yang berakhir dengan siksa, kepedihan, dan penyesalan.

Padahal, para ulama salaf kita mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah surga, barangsiapa yang tidak memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki surga di akherat.” Sebagian mereka juga berkata, “Banyak para penghuni dunia yang keluar dari alam dunia sementara mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Kenikmatan itu tiada lain adalah mengenal Allah dan merasa tentram dengan segala keputusan-Nya.

Itulah orang yang bisa merasakan kelezatan iman, apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah, apabila dia membenci maka bencinya karena Allah, apabila dia memberi maka pemberiannya juga karena Allah, demikian pula apabila tidak memberi maka hal itu pun karena Allah.. Oleh sebab itu, Allah ta’ala mensifati orang-orang beriman dengan sifat-sifat yang menggambarkan kelapangan dada mereka terhadap apa yang ditetapkan-Nya.

Allah menggambarkan bahwa hati mereka tidak merasa sempit atas apa yang diputuskan oleh Rasul-Nya. Hati mereka bergetar saat teringat kepada-Nya, dan bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka tidak menggantungkan harapan kecuali kepada-Nya semata.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki ataupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka alternatif lain dalam urusan mereka…”
(QS. al-Ahzab: 36).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka itu tidaklah beriman, sampai mereka menjadikanmu -Muhammad- sebagai hakim atas segala yang mereka perselisihkan di antara mereka, lalu mereka tidak mendapati rasa sempit di dalam hati mereka atas keputusan yang kamu berikan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.”
(QS. an-Nisaa’: 65).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetar/takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka semakin bertambahlah keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabbnya.”
(QS. al-Anfaal: 2)

Dan mereka -kaum beriman- adalah orang-orang yang tidak menyimpan keraguan terhadap apa yang dijanjikan oleh Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ketika orang-orang yang beriman melihat golongan-golongan yang bersekutu itu -untuk menghancurkan pasukan Islam- maka mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan rasul-Nya, dan Maha benar Allah dan rasul-Nya.’ Dan tidaklah hal itu melainkan menambahkan kepada mereka keimanan dan kepasrahan.”
(QS. al-Ahzab: 22).

Sebaliknya, kalau kita perhatikan sosok orang-orang kafir dan munafik, maka Allah mensifati mereka dengan keragu-raguan terhadap janji Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika orang-orang munafik serta orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit itu mengatakan: Yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka.”
(QS. al-Ahzab: 12).

Maka di posisi mana kita berada?

Sumber Artikel : DAKWAH TAUHID


Remaja Muslim di Gerbang Kehancuran

Syabab.Com - Remaja muslim saat ini memiliki peran yangs sangat penting. Terutama untuk mewujudkan generasi masa depan yang mampu meninggikan Islam. Namun masihkan ada harapan, sedangkan realitas sebagian generasi muda kita saat ini diserang dengan perilaku yang rusak dan menyimpang.
Yup, Di tengah-tengah desingan mesiu serangan budaya barat yang rusak, sedikit banyaknya kehidupan sekularisme saat ini telah menciptakan generasi muda yang menyedihkan. Kerusakan moral, pergaulan bebas, narkoba, tawuran, hingga lupa ajaran Islam dan merasa asing dengan agamanya sendiri. Sungguh-sungguh sangat menyedihkan dan pilu melihatnya.

Ini tak terlepas dari pendidikan yang memandang sebelah mata kepada proses pribadi para pelajar. Pendidikan sekularisme telah menjadikan anak-anak muslim sebatas manusia yang kenal materi dan haus kepada kepribadian yang sesungguhnya. Bagaimana hal tersebut tidak terjadi, ketika porsi pelajaran agama di sekolah hanya 2 jam per minggu. Ini tentu sangat tidak cukup sekali. Padahal setiap hari mereka didik oleh budaya barat yang rusak melalui media televisi atau media sosial yang rusak.

Keluarga muslim, benar-benar telah dihancurkan. Taroh saja, acara televisi semacam MamaMia, sang ibu berkerudung, tapi sang anak dengan lenggak lenggok mengumbar aurat. Sang Ibu merasa bangga saat anaknya manggung, tak merasa sedikitpun rasa dosa membiarkan anaknya dalam jurang kemungkaran. Begitu juga, acara acara idola-idola cilik, sejak dini si anak sudah diarahkan untuk menjadi idola semu yang jauh dari nilai-nilai ruhiyyah. Alih-alih mereka bangga karena sudah dapat membaca al-Quran, melainkan yang mereka banggakan punya anak pintar nyanyi dan berjoget. Miris, kan?

Apa itu semua kita biarkan begitu saja? Tentu tidak! Di tengah-tengah generasi kelabu tersebut, haruslah ada mutiara-mutiara yang akan menyelamatkan mereka. Akan menjadi cahaya bagi mereka. Siapakah mereka???

Lalu, kepada siapa kita berharap? Masihkah ada kepedulian dari mereka yang memiliki hati dan kerinduan pada kehidupan Islam? Apa selanjutnya?

Sumber Artikel : Syabab.Com

Wednesday, March 23, 2011

Butuhnya Manusia Akan Ilmu

Penulis: Al-Ustadz ‘Abdul ‘Aziz

Sebagaimana halnya makanan, yang dipergunakan manusia untuk kelangsungan hidup. Seandainya keimanan tidak dipupuk dengan ilmu, maka ibarat tanaman menjadi layu bahkan hancur.

Sehingga tidaklah terwujud keberadaan iman seorang kecuali dengan ilmu. Al Imam Ahmad menyatakan: “Manusia sangat membutuhkan ilmu dari sekedar menyantap makanan dan minuman; karena makanan dan minuman dibutuhkan oleh manusia sekali atau dua kali dalam sehari. Sedangkan ilmu ilmu dibutuhkan setiap saat.” (Thobaqot Al Hanabilah 1/147)

Bahkan seluruh makhluk Allah sangat butuh kepada ilmu. Karena tidak akan tegak urusan makhluk kecuali dengan ilmu. Langit-langit dan bumi bisa berdiri kokoh adalah dengan ilmu, begitu pula diturunkannya para rasul dan kitab-kitab-Nya juga dengan ilmu. Serta tidak akan diketahui perkara halal-haram kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, kewajiban seseorang dalam menuntut ilmu syar’i berlangsung hingga menjelang wafat.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menyampaikan dakwah dan nasehat hingga menjelang wafat beliau. Diriwayatkan oleh Al Hakim di dalam Mustadraknya dan dia berkata: -di atas syarat dua syaikh- dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda: “Dua keinginan yang tidak pernah merasa puas darinya: Keinginan terhadap ilmu dan tidak pernah merasa puas darinya, dan keinginan terhadap dunia dan tidak pernah merasa puas darinya.”

Nabi menjadikan keinginan terhadap ilmu dan tidak pernah merasa puas darinya sebagai komitmen iman dan sifat-sifat kaum mukminin. Oleh karena itu para imam kaum muslimin apabila dikatakan kepada mereka: “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” Maka dia mengatakan: “Sampai wafat!”

Nu’aim bin Hammad berkata: “Aku mendengar Abdullah ibnul Mubarak radhiyallahu ‘anhu berkata -sekelompok kaum mencelanya karena beliau sering menuntut ilmu hadits. Maka mereka mengatakan: “Sampai kapan engkau mendengarkan (hadits)? Beliau menjawab: “Sampai mati!”

Al Hasan bin Manshur Al Jashshosh berkata: “Aku mengatakan kepada Ahmad bin Hambal radhiyallahu ‘anhu: “Sampai kapan engkau akan menulis hadits?” Maka beliau mejawab: “Hingga wafat!”

Abdullah bin Muhammad Al Baghawi berkata: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Sesungguhnya aku menuntut ilmu sampai masuk ke liang kubur.”

Muhammad bin Isma’il As Shooigh berkata: “Aku tinggal bersama ayahku di Baghdad, kemudian lewat di hadapan kami Ahmad bin Hambal dalam keadaan memegang sandal. Lantas ayahku menarik bajunya, dan berkata: “Wahai Abu Abdillah (panggilan Ahmad bin Hambal), apakah engkau tidak malu! Sampai kapan engkau menuntut ilmu? Beliau menjawab: “Sampai mati!”

Demikianlah beberapa perkataan para ulama yang menerangkan begitu semangatnya mereka dalam menuntut ilmu. Sehingga mereka mencurahkan waktu dan tenaga untuk meraih lezatnya ilmu.

Sesungguhnya bagi siapa saja yang memahami hikmah dibalik perintah menuntut ilmu tersebut niscaya dia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktunya sedikitpun dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dia akan merasa rugi tatkala luput dari manisnya ilmu.

Dia akan memanfaatkan masa sehatnya untuk banyak menimba ilmu sebelum tiba masa sakit. Serta dia akan mengisi waktu hidupnya dengan hal-hal yang mengundang keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebelum ajal tiba.

Begitulah seharusnya cerminan seorang mukmin yang mengharapkan perjumpaan Rabbnya.

Seiring dengan itu, syetan juga tak pernah menyerah untuk menjerumuskan manusia ke lembah kebodohan. Sehingga dengan kebodohan seseorang terhadap ilmu mengakibatkan lemahnya keimanan dan minimnya ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sesungguhnya orang yang bodoh tidak mengetahui hakekat iman dan taqwa. Dan tidak mengetahui pula jalan untuk menuju keselamatan berdasarkan ilmu dan keyakinan yang mantap.Tentu saja hal ini semakin membuka peluang bagi syetan untuk menggiring orang tersebut kepada kemaksiatan dan kesesatan. Tatkala kebodohan telah merajalela, maka akan meningkat pula kemaksiatan, kriminalitas, cinta kepada dunia yang berlebihan dan takut apabila kematian menjemputnya, dan sebagainya.

Semua ini merupakan diantara sebab lemahnya kaum muslimin, sehingga Allah menimpakan kehinaan kepada mereka. Rasa gentar yang menghunjam pada jiwa-jiwa musuh-musuh Islam hilang seiring dengan dicabutnya kewibawaan kaum muslimin. Sehingga musuh-musuh kaum muslimin tidak segan-segan untuk mengintimidasi dan memberangus persatuan kaum muslimin. Sementara mayoritas manusia terlena dengan kehidupan dunia yang fana ini dan melupakan akhirat yang kekal abadi.

Oleh karena itu di antara sifat-sifat penuntut ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ikhlas dalam menuntut ilmu. Sebab dengan keikhlasan ini akan menghantarkan seseorang kepada tingkatan hamba yang sangat butuh kepada ilmu dan membentenginya dari riya’ (ingin dipuji oleh orang lain) dan sebagainya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari apa-apa yang dia cari dengannya wajah Allah Azza wa Jalla. Tidaklah dia belajar kecuali untuk memperoleh bagian dari dunia, maka dia tidak akan mencium wangi syurga pada hari kiamat.”
(HR. Ibnu Majah, Al Muqadimah 1/252 dan Ahmad, Al Musnad 2/338)

Dalam berhias dengan keikhlasan ini juga harus dibimbing dengan ilmu dan tidak cukup dengan modal semangat semata. Sebab berapa banyak orang yang pada awalnya ikhlas dalam melaksanakan amalan, namun tatkala berada di tengah perjalanan mengalami penurunan secara drastis. Ini semua tidak lepas daripada peran syetan dalam menggoda bani Adam. Syetan berupaya untuk memberikan rasa was-was di dalam diri manusia sehingga memperngaruhi keikhlasan. Oleh karena itu peran ilmu sangat besar terhadap keikhlasan seseorang.

Cukuplah bagi seorang muslim akan berita Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ilmu merupakan sebaik-baik ganjaran dalam berbuat kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan bagi orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (Az Zumar 33-35). Dan ini menunjukkan dua ganjaran baik di dunia dan akherat.

Al Hasan berkata: “Barangsiapa yang sangat baik peribadatannya kepada Allah pada masa mudanya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menganugerahkan hikmah (Ilmu) kepadanya tatkala beranjak dewasa.”

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan tatkala dia (Nabi Yusuf) cukup dewasa kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberikan balasan kepada orang- orang yang berbuat baik.”
(Al Ilmu Fadluhu wa Syarfuhu 226-227)

Demikian sifat dan kedudukan ilmu yang sangat mulia sebagai ganjaran yang paling berharga bagi seorang muslim yang ingin menggapainya. Oleh karena itu kebutuhan manusia terhadap ilmu merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar- tawar lagi. Jikalau ingin mendapatkan keberuntungan dunia dan akhirat maka tempuhlah jalan ilmu syari’at. Sehingga dengan demikian Allah akan mempermudah baginya untuk menuju surga yang diidam-idamkan.

Kita memohon kepada Allah agar dibukakan pintu hati kita dengan taufik dan hidayah-Nya. Sehingga kita senantiasa butuh kepada ilmu yang bermanfaat. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mencurahkan kepada jiwa kita perasaan cukup terhadap nikmat-nikmat yang diberikan-Nya. Amin Yaa Mujibas Saailin.

Sumber Artikel : www.darussalaf.or.id

Monday, March 21, 2011

Sederhana dalam Ibadah


Ada seorang pemuda, sebut saja si Fulan. Dulu dia seorang yang rajin beribadah. Kalau masalah shalat wajib berjama’ah jangan ditanya, dia tidak pernah ketinggalan mengerjakannya. Shalat malam?! dia pun ahlinya. Baca Al-Qur’an?! sudah berkali-kali khatam. Puasa senin-kamis?! itu rutinitas mingguannya. Menghadiri pengajian?! Lha wong ustadznya saja sangat dekat dengan dia karena saking rajinnya menghadiri pengajian.

Namun itu cerita dulu. Sekarang si Fulan telah berubah. Alhamdulillah tidak sampai berubah “180 derajat”. Tapi ibadah-ibadah yang dulu dia geluti sekarang hampir semuanya dia tinggalkan. Lho kenapa ya?!

Mengenal Penyakit Futur

Mungkin yang sekarang menimpa si Fulan -atau orang yang sejenisnya- adalah rasa futur dalam mengerjakan ibadah. Futur adalah suatu masa dimana seseorang yang tadinya begitu bersemangat tiba-tiba menjadi lemah, seolah semangatnya itu lenyap ditelan waktu.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Setiap amal perbuatan itu memiliki puncak semangatnya, dan setiap semangat memiliki rasa futur.”
(HR.Ahmad)


Hindari Sikap Berlebihan


Salah satu hal yang menjadikan ajaran Islam ini sebagai rahmatan lil ‘alamin adalah dilarangnya sikap berlebihan dalam beribadah dan tercelanya perbuatan tersebut.

Banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya kisah tiga orang sahabat yang mendatangi rumah istri-istri Rasulullah demi menanyakan bagaimana beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam beribadah. Setelah mereka bertiga diberitahu tentang hal tersebut mereka merasa minder, lalu berkata, “Kita ini siapa dibandingkan dengan Rasulullah?! padahal beliau seorang yang telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan datang.”
Kemudian salah seorang dari mereka bertiga berkata, “Kalau begitu aku akan shalat malam terus menerus (dan tidak tidur).”

Yang satunya lagi berkata, “Adapun aku, aku akan berpuasa seharian penuh dan tidak berbuka.”

Yang lainnya lagi berkata, “Kalau aku, aku akan memisahkan diri dari wanita dan tidak akan menikah selamanya.”

Kemudian Rasulullah mendatangi mereka seraya bertanya, “Apakah kalian yang tadi berkata demikian dan demikian?!. Adapun aku, demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah di antara kalian. Akan tetapi bersamaan dengan itu, aku berpuasa dan aku pun berbuka. Aku shalat dan aku pun tidur. Aku pun menikah dengan para wanita. Dan siapa saja yang tidak suka dengan sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.”
(HR. Muslim).

Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seseorang yang berlebih-lebihan dalam agama kecuali akan terkalahkan.”
(HR. Bukhari)

Bahkan Rasulullah sendiri saja terkadang tidak memperpanjang shalatnya, sebagaimana yang dituturkan oleh Abu ‘Abdillah Jabir bin Samrah Radhiyallahu ‘anhuma, “Aku pernah shalat bersama Nabi. Shalat beliau tidak lama, demikian pula dengan khutbahnya.” (HR. Muslim). Al-Imam An-Nawawi menerangkan bahwa maksudnya adalah shalatnya tidak terlalu lama dan tidak terlalu sebentar.


Sedikit Asal Rutin, Itu Kuncinya

Untuk ibadah-ibadah yang hukumnya tidak wajib, kita boleh untuk tidak mengerjakannya secara menyeluruh. Bahkan yang terbaik dalam beramal adalah mengerjakan yang kita bisa meskipun tidak banyak asal dengan syarat : RUTIN.
Inilah yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sabdanya, “Amalan yang paling dicintai adalah yang rutin walaupun sedikit.” (Muttafaq ‘alahi)

Rasulullah juga pernah menasehati ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash, “Wahai ‘Abdullah, janganlah kau menjadi seperti orang itu. Dulu ia rajin qiyamul lail, namun kemudian meninggalkannya.”
(Muttafaq ‘alaih)


Harus Sesuai Syari’at

Sebuah pemahaman yang patut dimengerti oleh setiap muslim adalah bahwa amalan itu hanya dapat diterima jika memenuhi 2 syarat utama: (1) ikhlas hanya karena Allah, dan (2) mengikuti apa yang telah disyariatkan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Kalau salah satu keduanya tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.

Sah-sah saja kita beramal dengan berbagai macam ibadah selagi kita mampu, namun yang perlu diperhatikan juga ialah amalan-amalan tersebut hendaknya bersumber dari 2 syarat tadi. Jika amalan yang kita kerjakan selama ini ternyata hanya sekedar ‘produk buatan’ manusia saja (tidak sesuai dengan syariat, membuat ibadah baru), apalagi ditambah dengan ketidak-ikhlasan kita, maka yakinilah bahwa amalan tersebut pasti tertolak.

Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang membuat-buat ajaran baru yang bukan berasal dari kami maka ia tertolak.”
(HR.Muslim)

Dan masih ingat dengan kisah 3 orang sahabat tadi?! Bukankah amalan-amalan yang mereka lakukan itu semuanya baik bila kita melihatnya dengan sekilas saja (shalat semalam suntuk dengan tidak tidur, puasa seharian penuh dengan tidak berbuka, dan bersikeras untuk tidak menikah) ?! Akan tetapi Rasulullah membencinya disebabkan ketidaksesuaian amalan-amalan tersebut dengan syari’at Islam.

Betapa indahnya perkataan seorang ‘Abdullah bin Mas’ud terkait masalah ini, “Sederhana dalam mengikuti Sunnah itu jauh lebih baik daripada berlebih-lebihan dalam mengerjakan amalan-amalan baru yang tidak pernah dicontohkan Nabi.”


Jangan Disalahpahami !

Apa yang baru saja kami paparkan bukanlah pembelaan untuk mereka yang bermalas-malasan dalam beribadah dan bukan pula celaan bagi mereka yang berusaha memperbanyak amalan shalih. Jangan sampai ada dari kita yang malah memandang sinis orang-orang yang rajin beribadah seraya mengatakan, “Jadi orang Islam itu ga usah fanatik kayak gitu lah.”

Tapi mari kita sama memperbanyak amalan shalih sebagai bekal kita menuju kehidupan akhirat kelak. Beribadahlah sesuai kesanggupan. Mari sama-sama berangkat ke masjid selama masih diberi kesanggupan oleh Allah. Yuk sama-sama mengaji agar kita bisa kenal agama. Ayo shalat malam selagi kita masih sehat wal ‘afiat.

Kalau ada rezeki maka infakkan fi sabilillah, dan tabung untuk bisa berangkat haji ke tanah suci. Begitu juga dengan ibadah yang lainnya, kerjakan selagi mampu dan jangan memaksakan diri. Rutinkanlah ibadah tertentu yang patut Anda banggakan nanti dihadapan Allah. Serta jangan lupa untuk selalu berdoa kepada Allah agar kita dan saudara-saudara kita tetap diberi ke-istiqomah-an dalam menjalankan ibadah-ibadah tersebut.

Dan bagi Anda yang sanggup melakoni segala macam ibadah, bersyukurlah. Karena sesungguhnya kesanggupan Anda tersebut tidak lain adalah anugerah dari Allah Ta’ala, bukan semata-mata karena kekuatan fisik Anda.
[ Abu Nu'aim bin Syarief ]

Sumber Artikel : buletin.imam-syafii.or.id

Wednesday, March 16, 2011

Memangkas Jimat, Meluruskan Keyakinan

Konon kabarnya, nenek moyang bangsa Indonesia sebelum datangnya Islam ke nusantara adalah kaum paganisme dan animisme. Mereka mempercayai adanya kekuatan gaib pada sebagian makhluk dan benda-benda. Kepercayaan ini sudah berakar kuat pada mayoritas manusia pada zaman itu. Saking kuatnya keyakinan ini, tak heran jika kepercayaan seperti ini masih tersisa dan memiliki pengaruh pada sebagian besar masyarakat muslim di era moderen ini.
Adanya keyakinan kepada benda-benda masih terlihat di masyarakat, akibat pengaruh paganisme dan animisme. Lihatlah, sebagian masyarakat kita masih mempertahankan ajaran kejawen yang berisi keyakinan-keyakinan batil, walaupun ia telah masuk Islam. Di Sulsel sendiri masih ada sekelompok manusia yang masih mempertahankan keyakinan mereka yang sarat dengan keyakinan paganisme dan animisme; mereka istilahkan dengan "atau riolongeng" (adat istiadat nenek moyang), seperti memperingati dan merayakan hari kematian (haulan) seseorang, mempercayai kekuatan benda-benda, meyakini hari-hari tertentu sebagai hari bahagia atau hari celaka, mempersembahkan sesuatu kepada penjaga (bau rekso) yang ada di suatu tempat menurut keyakinan batil mereka.

Banyak macam dan ragam dari ajaran-ajaran batil menyusup ke dalam agama Allah disebabkan sebagian orang yang mengaku muslim tak mau melepas ajaran nenek moyangnya yang batil lagi menyimpang. Lantaran itu, timbullah keyakinan bahwa jimat mempunyai pengaruh bagi kebahagian dan kecelakaan bagi seseorang.

Fenomena yang terjadi di zaman sekarang hanyalah sejarah yang berulang dari zaman ke zaman. Hanya terkadang bentuk dan istilahnya yang beragam. Di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sendiri pernah terjadi hal dan keyakinan seperti ini pada sebagian sahabat yang masuk Islam. Namun Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tak mendiamkan hal itu, beliau langsung menegur dan meluruskannya.

Sahabat Abu Basyir Al-Anshoriy -radhiyallahu anhu- berkata bahwa,

أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ, فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولاً: أَنْ لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ

"Dia pernah bersama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pada sebagian safar beliau. Kemudian Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengutus seorang utusan untuk menyampaikan pesan, "Jangan lagi tersisa kalung yang terbuat dari tali busur ataukah kalung apa saja pada leher onta, kecuali diputuskan".
[HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3005), dan Muslim dalam Shohih-nya (2115)]

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang para sahabat untuk mengikuti kebiasaan orang-orang jahiliyah, yaitu kebiasaan menggantungkan tali pada pada hewan-hewan tunggangan sebagai jimat yang bisa menolak bala’ dan penyakit menurut keyakinan mereka yang batil. Sebab mereka (orang-orang jahiliyah) meyakini bahwa jika ia menggantungkan seutas tali busur pada leher hewan, maka ia akan terhindar dari penyakit. Ini adalah keyakinan jahiliyah!!

Abul Qosim Al-Azhariy -rahimahullah- berkata, "Konon kabarnya, orang-orang jahiliyah dahulu mengalungkan tali busur pada hewan (sebagai jimat) untuk mencegah ain (sejenis penyakit yang timbul karena pengaruh mata). Akhirnya merekapun dilarang. Adapun mengalungkan tali pada leher binatang untuk keindahan (hiasan), maka hal itu tak mengapa".
[Lihat Al-Muntaqo Syarh Al-Muwaththo' (4/351), karya Abul Walid Al-Bajiy]

Keyakinan jahiliyah seperti ini telah dihapuskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh karena itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang dan mengingatkan akan dosa dan bahaya menggantung jimat pada badan, rumah, mobil, dan lainnya. Menggantungkan dan memakai jimat termasuk kesyirikan yang bertentangan dengan inti ajaran Islam, yakni tauhid. Sebab seorang yang memakai jimat pasti meyakini bahwa jimat itulah yang menyebabkan ia terhindar dari penyakit dan bala’. Jadi, menurut keyakinan ini bahwa ada makhluk yang mampu menjaga dan melindungi seseorang dari penyakit di samping Allah -Ta’ala-. Jelas ini adalah syirik.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ [ أخرجه أبو داود ( 3883 ) و ابن ماجه ( 3530 ) و ابن حبان ( 1412 ) و أحمد ( 1 / 381 ),وصححه الألباني في الصحيحة (رقم:331 و2972)]

"Sesungguhnya mantra-mantra, jimat, dan guna-guna (pelet) adalah kesyirikan".
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/381), Abu Dawud dalam Sunan-nya (3883), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3530), dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (1412), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (4/217 & 418). Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kan hadits ini dalam Ash-Shohihah (331 & 2972)]

Jampi-jampi (ruqyah) jika berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka itu adalah perkara yang boleh dan disyari’atkan dalam Islam. Adapun apabila ruqyah (jampi) yang biasa kita sebut dengan "mantra-mantra" yang berisi doa kepada selain Allah, maka ini adalah ruqyah yang terlarang. Demikian pula, bila ruqyah-nya berasal dari kata-kata yang tidak bisa dipahami maknanya, maka ini juga terlarang, sebab dikhawatirkan di dalamnya terdapat kata-kata kafir atau syirik.
[Lihat At-Tamhid (hal. 108) oleh Syaikh Sholih At-Tamimiy, 1423 H]

Adapun masalah jimat dan guna-guna, maka permasalahannya jelas; keduanya terlarang dalam agama kita, sebab dalam pemakaian jimat terdapat ketergantungan dan keyakinan kepada selain Allah. Sedang ini adalah syirik (menduakan Allah). Sementara guna-guna adalah sihir yang digunakan untuk merukunkan seseorang dengan pasangannya atau sebaliknya. Sihir sendiri telah jelas haram dalam Islam secara mutlak. Anda jangan tertipu dengan sebagian orang yang menyatakan ini sihir hitam, dan itu sihir putih. Ketahuilah ini adalah tipuan setan, sebab semua sihir, apapun namanya tetaplah hitam. Mengapa demikian? Sebab semua sihir adalah perkara yang diharamkan dalam agama Allah.

Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan sebabnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang untuk menggunakan jimat, "Demikian itu karena mereka (orang-orang jahiliyah) dahulu mengikatkan tali dan kalung-kalung tersebut sebagai jimat. Mereka menggantungkan pada tali itu mantra-mantra (rajah-rajah), sedang mereka menyangka bahwa jimat-jimat itu bisa melindungi mereka dari berbagai macam penyakit. Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang mereka dari menggunakan jimat-jimat, dan memberitahukan mereka bahwa jimat-jimat itu tidak bisa menolak keputusan (taqdir) Allah sedikitpun".
[Lihat Aunul Ma'bud Syarh Sunan Abi Dawud (5/151)]

Seorang yang menggunakan jimat termasuk orang yang berbuat syirik. Oleh karena itu, Allah tidak akan memberikannya pertolongan dan kesembuhan. Allah akan membiarkannya dan meninggalkannya, tanpa penolong. Isa bin Abdir Rahman Al-Anshoriy berkata, "Aku pernah masuk menemui Abdullah bin Ukaim Abu Ma’bad Al-Juhaniy untuk menjenguk beliau, sedang pada beliau terdapat penyakit pembengkakan (sejenis tho’un). Kami katakan, "Kenapa anda tidak menggantung sesuatu (yakni, jimat)?". Beliau menjawab, "Kematian lebih dekat dari hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ [ أخرجه أحمد في مسنده (4/310 & 311) الترمذي في سننه (2073), والحاكم في المستدرك على الصحيحين (4/216), وحسنه الألباني في غاية المرام (297)]

"Barangsiapa menggantungkan sesuatu (yakni, jimat), maka ia akan dibiarkan kepada sesuatu itu".
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/310 & 311), At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2073),dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok ala Ash-Shohihain (4/216). Syaikh Al-Albaniy meng-hasan-kan hadits ini dalam Ghoyah Al-Marom (297)]

Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan makna hadits di atas, "Maksudnya, barangsiapa yang menggantungkan sesuatu pada dirinya berupa rajah-rajah, jimat-jimat, dan sejenisnya, sedang ia meyakini bahwa hal-hal itu bisa mendatangkan manfaat baginya atau menolak gangguan (bala’) darinya".
[Lihat An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (3/556)]

Menggunakan jimat, baik pada badan, rumah, maupun yang lainnya termasuk dosa besar di sisi Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Tak heran bila Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah berlepas diri dari orang yang menggunakan jimat. Ruwaifi’ bin Tsabit -radhiyallahu anhu- berkata,

عن رويفع قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي فَأَخْبِرْ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ بَرِيءٌ [أخرجه أحمد في مسنده (4/108-109)أبو داود في سننه - (36), والنسائي في سننه (4981), وصححه الألباني في صحيح الجامع الصغير (رقم: 7910)]

"Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah bersabda kepadaku, "Wahai Ruwaifi’, barangkali umurmu akan panjang setelahku. Karenanya, kabarilah manusia bahwa barangsiapa yang memilin jenggotnya atau mengalungkan tali (yakni, jimat) atau ia cebok dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- berlepas diri darinya".
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/108 & 109), Abu Dawud dalam As-Sunan (36), dan An-Nasa'iy dalam As-Sunan (4981). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' Ash-Shoghier (7910)]

Berlepas dirinya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dari orang yang menggantungkan dan menggunakan jimat menunjukkan besarnya permasalahan jimat. Lantaran itu, sebagian ulama menjelaskan bahwa seorang terkadang yang memakai jimat keluar dari Islam, bila ia meyakini bahwa jimat itu yang menolak bala’ atau mendatangkan manfaat.

Adapun bila ia memakai jimat, dan menyangka bahwa jimat itu adalah sebab Allah menolak bala’ darinya, maka ini juga syirik. Hanya saja tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam. Pengingkaran Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- atas orang-orang yang memakai jimat adalah perkara masyhur di kalangan salaf. Seorang Pembesar Ulama Tabi’in, Abu Sulaiman Zaid bin Wahb Al-Juhaniy Al-Kufiy -rahimahullah- berkata,

اِنْطَلَقَ حُذَيْفَةُ إِلَى رَجُلٍ مِنَ النَّخَعِ يَعُوْدُهُ ، فَانْطَلَقَ وَانْطَلَقْتُ مَعَهُ ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَدَخَلْتُ مَعَهُ ، فَلَمِسَ عَضُدَهُ فَرَأَى فِيْهِ خَيْطًا فَأَخَذَهُ فَقَطَعَهُ ، ثُمَّ قَالَ : لَوْ مُتَّ وَهَذَا فِيْ عَضُدِكَ مَا صَلَّيْتُ عَلَيْكَ [أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه (ج 5 / ص 427) بسند صحيح ]

"Hudzaifah pernah pergi kepada seseorang dari Nakho’ untuk menjenguknya. Beliau pergi, dan akupun pergi bersamanya. Kemudian beliau masuk menemui orang itu, dan akupun masuk bersamanya. Beliau pun menyentuh lengan orang itu. Tiba-tiba beliau melihat padanya seutas benang. Akhirnya beliau mengambil dan memutuskannya seraya berkata, "Andaikan engkau mati, sedang benang ini ada pada lenganmu, maka aku tidak akan menyolatimu".
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (5/427), dengan sanad yang shohih]

Ibrahim bin Yazid An-Nakho’iy -rahimahullah- berkata,

كَانُوْا يَكْرَهُوْنَ التَّمَائِمَ كُلَّهَا ، مِنَ الْقُرْآنِ وَغَيْرِ الْقُرْآنِ. [أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه (ج 5 / ص 428), و القاسم بن سلام في فضائل القرآن (ج 2 / ص 272/رقم 704), وصححه الألباني في تحقيق الكلم (ص 45)]

"Dahulu mereka –yakni, para sahabat- membenci semua jimat-jimat, baik yang terbuat dari AL-Qur’an, maupun selainnya".
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (5/428), dan Abu Ubaid Al-Qosim Ibnu Sallam dalam Fadho'il Al-Qur'an (2/272/no. 704). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Tahqiq Al-Kalim (hal. 45)]

Demikian pengingkaran para sahabat yang mulia, diantaranya Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu anhu-. Pengingkaran ini bukan hanya berasal dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat, bahkan generasi setelahnya terus melakukan pengingkaran atas para pemakai jimat. Muhammad bin Suqoh Al-Ghonawiy -rahimahullah- berkata,

أَنَّ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍ رَأَى إِنْسَانًا يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ فِيْ عُنُقِهِ خَرَزَةٌ فَقَطَعَهَا [أخرجه ابن أبي شيبة في مصنفه (ج 5 / ص 428) بسندٍ صحيحٍ]

"Sa’id bin Jubair (seorang tabi’in) pernah melihat seseorang yang melakukan thawaf di Baitullah, sedang di lehernya terdapat permata (yakni, jimat). Akhirnya beliau memutuskannya".
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (5/428) dengan sanad shohih] Jimat walapun terbuat dari Al-Qur’an, maka ia juga terlarang, karena tak ada contohnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, dalil umum menunjukkan pelarangan semua jenis jimat, dan boleh jadi seorang akan membawanya ke toilet, padahal di dalamnya terdapat ayat atau dzikrullah. Selain itu, Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang digantung, tapi ia adalah bacaan.

Al-Qodhi Abu Bakr Ibnul Arobiy -rahimahullah- berkata dalam Aridhoh Al-Ahwadziy, "Menggantungkan Al-Qur’an (sebagai jimat) bukanlah jalan sunnah (petunjuk). Hanyalah sunnah itu pada Al-Qur’an adalah dzikir (membacanya), tanpa menggantungnya".
[Lihat Hasyiyah An-Nasa'iy (5/421) oleh As-Sindiy]

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 122 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber Artikel : AlMakassari.Com

Sunday, March 13, 2011

Akibat Ulah Guru Besar

Di bangku kuliah, kita biasa mendengar ada istilah “guru besar” alias professor. Pada hari ini, di dunia almamater muncul “guru besar” yang jauh lebih hebat pengaruhnya dibandingkan pak Prof. Siapakah dia? Jawabnya, itulah barang malang yang disebut dengan “televisi”.Kehebatannya dalam mempengaruhi orang tidak perlu diragukan lagi.

Mulai balita, anak kecil, ABG, orang dewasa, dan lansia, baik laki-laki, maupun perempuan dari kalangan orang rakyat jelata sampai professor; semuanya “bertekuk lutut” di hadapan TV. Semua terpukau dan silau dengan gemerlapnya tayangan televisi, seakan-akan tak ada cacat, aib, dan kesalahannya. Tapi, bagi orang yang memiliki sedikit ilmu din (agama) akan tahu tentang bahaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh televisi di dunia dan akhirat.

Tayangan Televisi telah melatih para pemuda untuk berbuat kekerasan melalaui berbagai adegan yang ditampilkan kepada mereka dalam bentuk film-film tentang kriminal, karate, pertandingan tinju, dan lain sebagainya. Pengaruh buruknya bisa kita lihat dalam kehidupan anak-anak muda yang senang melakukan tawuran dan aksi kekerasan. Ini disebabkan karena mereka terobsesi dengan tayangan-tayangan di TV yang merusak akhlak mereka.

Waktu mereka untuk belajar sangat sempit, digeser oleh berbagai jenis hiburan dan tayangan acara televisi yang menghabiskan waktu dengan materi yang tidak mendidik. Parahnya lagi, kurangnya jam pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Itu pun kalau guru agamanya hadir. Terkadang guru agamanya hadir, tapi para remaja sangat sedikit mendapatkan bimbingan-bimbingan rohani. Padahal bimbingan rohanilah yang dapat menyejukkan hati meraka yang merupakan pengontrol dari perbuatan-perbuatan mereka.

Disamping itu, keluarga sebagai lembaga nonformal yang pertama dan yang paling utama, kini cenderung sepi. Kedua orang tua berkerja dan anak dibiarkan menentukan pendidikan dan panutannya sendiri; atau mungkin ibu ada di rumah, namun ia tidak menerapkan pendidikan akhlak di keluarga, bahkan secara tidak langsung anak disuruh menyesuaikan diri dengan dunia modern yang penuh kebebasan.

Mereka disediakan kamar sendiri dengan seperangkat video game, televisi dan computer yang memungkinkan anak menemukan celah-celah buruk dari media tersebut berupa sex, horor, kekerasan dan penghamburan waktu, tanpa kontrol dari orang tua. Oleh karena itu, pada akhir-akhir ini kita sering mendengar berita-berita kriminal, seperti pembunuhan, pencurian, pemerkosaan dan lainnya. Kesemuanya ini adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Allah -Azza wa Jalla-. Mereka mempelajari kejahatan-kejahatan ini melalui film dan tayangan televisi .

Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya, serta menyediakan siksaan yang besar baginya” .
(QS. An-Nisa`: 93)

Seorang mufassir, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata dalam menafisrkan ayat ini, “Tidak ada ancaman yang lebih besar dalam semua jenis dosa besar, bahkan tidak pula semisalnya dibandingkan ancaman ini, yaitu pengabaran bahwa balasan orang yang membunuh adalah Jahannam. Maksudnya, cukuplah dosa yang besar ini saja untuk dibalasi pelakunya dengan Jahannam, beserta siksaan yang besar di dalamnya, kerugian yang hina, murkanya Al-Jabbar (Allah), luputnya keberuntungan, dan terjadinya kegagalan, dan kerugian. Kami berlindung kepada Allah dari segala sebab yang menjauhkan dari rahmat-Nya”.
[Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 193-194)]

Televisi juga mempropagandakan gaya hidup mewah dan bebas di tengah dunia nyata. Akibatnya, semakin banyak orang yang hidup tanpa arah yang jelas; mencuri, merampok, korupsi dan lain-lain.

Guru Besar telah melatih para penjahat tentang seni terbaru dalam mencuri, menjarah, membuka kunci dan menghapus jejak kejahatan. Jika kita memperhatikan masa lalu, maka kita akan mendapati bahwasanya kejahatan dahulu itu sangat sederhana, sehingga dalam waktu singkat, para petugas mampu menangkap penjahat tersebut. Namun, kini para penjahat telah mempelajari dan mengetahui berbagai cara dan modus kejahatan terbaru. Mereka berguru dari film-film action dan selainnya, yang diajarkan oleh Guru Besar.

Oleh karena itu, betapa seringnya kita mendengar terjadinya penjarahan rumah-rumah, pencurian mobil, pengedaran obat terlarang, penculikan gadis-gadis, perkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya. Semua berhasil dengan sempurna berkat strategi yang jitu sehingga mampu melemahkan petugas. Dari mana mereka belajar semua itu? di universitas manakah mereka belajar? siapa yang mengajarkan semua itu kepada mereka? Tentunya dari Guru Besar alias TV.

Televisi dan Keretakan Rumah Tangga

Televisi adalah faktor utama tersebarnya problem perceraian dan kegagalan ramah tangga. Televisi telah mengajarkan para wanita untuk berbuat durhaka kepada suaminya. Waktunya lebih banyak dihabiskan di depan TV untuk menunggu sinetron-sinetron favoritnya, kabar-kabar para selebriti, film-film India dan telenovela kesayangannya. Sehingga banyak tugas dan kewajibannya yang dilalaikan sebagai seorang istri, seperti melayani dan memperhatikan suami serta anak-anaknya .

Dia juga melihat para suami yang ditayangkan di sinetron TV adalah orang-orang yang memiliki rumah yang besar, perabot-perabot yang lengkap, mobil yang mewah, dan selalu memberikan istrinya perhiasan yang indah-indah. Kemudian, ia membandingkan suaminya dengan apa yang dilihatnya di TV Dia menginginkan suaminya mampu seperti laki-laki ideal yang ada di televisi. Ketika suaminya tidak mampu berbuat seperti itu, dianggapnya suatu kekurangan dari suaminya dan menganggap bahwa suaminya tidak mampu membahagiakan dirinya.

Sehingga, Suaminya pun marah, lalu perselisihan berkecamuk, ikatan perkawinan retak, ikatan keluarga terputus. Akibatnya banyak kasus perceraian diakibatkan sikap istri yang kurang perhatian dan pengertian kepada suaminya Penyebabnya, tiada lain adalah TV. Padahal, hak-hak suami yang wajib dipenuhi oleh istri itu banyak sekali dan sangat agung. Karena demikian agungnya hak tersebut , Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

مَا يَنْبَغِى لِأََحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ وَلَوْ كَانَ أَحَدٌ يَنْبَغِى أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍِ لَأَ مَرْتُ امْرَأَتًا أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا كَمَا عَظَّمَ االلهُ عَلَيْهِ مٍنْ حَقِّهِ

“Tidaklah sepantasnya seorang bersujud kepada yang lain. Andaikata seorang boleh bersujud kepada orang lain niscaya aku akan perintahkan seorang wanita bersujud kepada suaminya karena Allah menganggap besar hak seorang suami atasnya ” .
[HR. At-Tirmidzi dalam Al-Kubra (7/291), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (415). Al-Albani men-shohih-kannya dalam Takhrij Al-Misykah Al-Mashobih (3255)]

Al-Allamah Muhammad Abdur Rahman Al-Mubarakfuriy -rahimahullah- berkata ketika menjelaskan kenapa sampai Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda demikian tadi, “Karena besarnya hak suami atas diri sang istri, dan ketidakmampuan seorang istri mensyukurinya. Dalam hadits ini, terdapat penekanan yang teramat dalam tentang wajibnya seorang istri taat kepada suami, karena sujud tidak halal, kecuali sujud kepada Allah”
[Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (4/358)]

Selain itu, seorang akan memandang lawan jenisnya ketika ia menonton TV. Padahal Allah telah mengharamkan memandang kepada lawan jenis yang bukan mahramnya, karena bahayanya yang begitu besar, dapat mengantarkan kepada sesuatu yang lebih berbahaya yaitu zina.

Allah berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ … وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman supaya mereka menundukkan pandangan mereka… Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman agar menundukkan pandangan mereka”.
(QS. An-Nur: 30-31)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasqiy – rahimahullah – berkata dalam Tafsir Ibnu Katsir (3/373), “Ini merupakan perintah dari Allah -Ta’ala- kepada para hamba-Nya yang beriman, agar mereka menundukkan pandangan mereka dari sesuatu yang haram atas mereka. Maka mereka hendaknya tidak memandang, kecuali kepada sesuatu yang dihalalkan oleh Allah bagi mereka untuk dipandang; dan agar menundukkan pandangannya dari wanita-wanita. Jika kebetulan pandangannya tertuju pada sesuatu yang haram (dipandang), tanpa ada kesengajaan, maka hendaknya ia memalingkan pandangannya dari hal itu dengan cepat “.

Beliau -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

يَا عَلِيُّ لاَ تٌتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ اْلأُوْلىَ وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ

“Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan (pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya”.
[HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (2149), dan At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2777). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Jilbab Al-Mar'ah (77)]

Perintah untuk menundukkan pandangan, tidak mungkin bisa dilaksanakan selama barang haram ‘televisi’ ada dirumah kita. Sebab tayangan-tayangan yang ditampilkan, tidak lepas dari perkara haram: mulai dari pameran aurat (sedang aurat wanita, seluruh tubuhnya), ikhtilat (campur baur laki-laki dan wanita), berkhalwat (berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya), wanita-wanita yang bertabarruj (menampakkan kecantikan), nyanyian dan musik.

* Televisi dan Penghancuran Aqidah

Televisi telah menghancurkan aqidah kaum muslimin dengan berbagai tayangan-tayangan yang merusak dan sarat dengan kesyirikan. Dengan menampilkan kuburan-kuburan para wali di berbagai tempat (daerah), sedang di samping kuburan itu ada orang yang berdoa, shalat, menyembelih, bernadzar, meminta jaminan, meminta bantuan, meminta pertolongan, meminta rezki, mencari keterangan, mencari petunjuk atas orang atau barang yang hilang supaya bisa kembali ,atau melakukan ritual-ritual ibadah dan lain sebagainya.

Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ تُصَلُّوْا إِلىَ قَبْرٍ وَلاَ تُصَلُّوْا عَلىَ قَبْرٍ

“Janganlah engkau shalat menghadap ke kubur, dan jangan pula shalat di atasnya”. [HR. Ath-Thabraniy dalam Al-Kabir (3/145/2). Hadits ini dishohihkan oleh Al-Albaniy dalam Tahdzir As-Sajid (hal. 31)]

Televisi juga menampilkan kebohongan para tukang sihir, dukun dan peramal. Para dukun itu menampilkan diri seolah-olah sebagai seorang tabib dan kiyai, sehingga mereka memerintahkan orang yang sakit agar menyembelih kambing atau ayam dengan ciri-ciri tertentu; menuliskan untuk para pasiennya sebuah tulisan (mantra-mantra) syirik dan permohonan perlindungan syaithoniyah dalam bentuk bungkusan yang dikalungkan di leher, diletakkan di laci atau di atas pintu.

Sebagian lagi menampakkan diri sebagai wali yang memiliki karamah dan hal-hal diluar kebiasaan manusia, seperti masuk ke dalam api, tetapi tidak terbakar; menebas dirinya dengan pedang, namun tidak terluka; atau dilindas mobil, tetapi tidak apa-apa, dan lainnya di antara keanehan, hakekatnya adalah sihir dan perbuatan syaithan yang diperjalankan melalui tangan mereka untuk membuat kerusakan aqidah di antara manusia.

Pengakuan mereka mengetahui ilmu ghaib dan perkara-perkara ghaib, kesemuanya itu melalui permohonan bantuan syethan-syethan yang mencuri dengar dari langit. Allah -Ta’ala- berfirman:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ . تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ . يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syethan-syethan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta”.
(QS. Asy-Syuara’ : 221-223).

Al-Imam Al-Lalika’iy-rahimahullah- berkata, “Mereka itu (para wali syetan) menjadikan syetan-syetan sebagai walipenolong mereka. Mereka telah menjual agamanya dengan imbalan berupa kemampuan-kemampuan luar biasa dan bentuk pertolongan lain yang diberikan syetan-syetan itu kepada mereka”.
[Lihat Syarh Ushul hal. 27)

Syetan mencuri kalimat dari ucapan malaikat kemudian disampaikan ke telinga mereka, dan mereka berbohong dengan kalimat (yang diterimanya itu) sebanyak seratus kali kebohongan di layar kaca lalu para pemirsa mempercayainya, disebabkan oleh satu kalimat (yang benar tersebut) yang didengar oleh syethan dari langit. Apa yang dikatakan tukang sihir, dukun dan peramal, sebenarnya hanyalah dugaan dan kebetulan saja.

Umumnya, tidak lebih dari dusta karena bisikan syethan. Tidak ada yang terbujuk, kecuali orang yang kurang akal dan agamanya saja. Realita ini merupakan fenomena yang aneh! Aneh, tapi nyata. Orang yang berakal sehat akan bertanya-tanya, mengapa di zaman modern ini, zaman globalisasi, zaman teknologi, dan komunikasi semakin canggih hingga sebagian orang memuja-mujanya setinggi langit, namun khurafat, mistik, dan perdukunan masih lengket, bahkan terkesan semakin lengket dengan kehidupan masyarakat.

Dalam acara-acara TV banyak kita temukan perkara-perkara sihir. Biasanya ditampilkan dalam bentuk acara yang berbau kemistikan, sepeti “Pemburu Hantu”, “Misteri Gunung Merapi”, “Kera Sakti”, “Gerhana”,”Mariam si Manis Jembatan Ancol”, “Mahkota Mayangkara”, dan masih banyak lagi tayangan lainnya yang ternyata sebagai “Dalang Penghancur Aqidah”.

Padahal di dalam kitab-kitab aqidah, para ulama telah banyak membahas tentang bahaya sihir terhadap aqidah. Mereka menyebutkan bahwasanya sihir dapat membatalkan keislaman seseorang sehingga menjadikan dia tidak beraqidah Islam lagi. Kalau hal ini sampai terjadi maka tidak ada lagi harapan kebahagian bagi dirinya. Karena Allah telah menjelaskan di dalam firman-Nya:

وَلاَ يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى

“Dan tidak akan beruntung tukang sihir dari manapun dia datang”.
(QS. Thaha: 69)

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 17 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber Artikel : almakassari.com

Wednesday, March 9, 2011

INGAT, AHMADIYAH ADALAH KAFIR !


Fatwa Kafirnya Ahmadiyyah !!

Sesatnya Ahmadiyyah
Ahmadiyyah adalah gerakan yang mengusung paham kafir, dan gerakan pemurtadan, sebab mereka meyakini bahwa masih ada nabi setelah Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ini adalah paham kafir yang disepakati oleh para ulama’ dan kaum muslimin dari zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sampai hari ini !!

Ahmadiyyah (biasa disebut Qodiyaniyyah) yang berasal dari Negeri Penyembah Sapi (India) telah mengangkat nabi baru alias nabi palsu, yaitu pemimpin mereka sendiri yang bernama Mirza Ghulam Ahmad, seorang kaki tangan penjajah Inggris yang telah menduduki India saat itu.


Ketika mereka mempermaklumkan paham kafir itu, maka serta-merta para ulama di seluruh dunia mengeluarkan fatwa resmi, dan mengadakan pertemuan demi menepis kerancuan dan penyimpangan yang ditimbulkan oleh kelompok kafir itu.

* Fatwa & Pernyataan MUI
Melihat adanya paham kafir yang akan memecah belah masyarakat, maka Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa sebagai berikut nasnya: "Bismillahir Rahmanir Rahim, Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II, tanggal 11-17 Rajab 1400 H/ 26 Mei-1 Juni 1980 M , di Jakarta memfatwakan tentang Jama’ah Ahmadiyyah sebagai berikut:

* Sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyyah, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa Ahmadiyyah adalahjama’ah di luar Islam, sesat, dan menyesatkan.
* Dalam menghadapi persoalan Ahmadiyyah hendaknya Majelis Ulama Indonesia selalu berhubungan dengan Pemerintah".
[Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (hal. 96), diterbitkan oleh Bagian Proyek Sarana & Prasarana Produk Halal, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggara Haji, Departemen Agama RI, 2003 M]


Mengapa Ahmadiyah Kafir??! Karena mendustakan firman Allah,

Allah -Ta’ala- berfirman,"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
(QS. Al-Ahzab : 40)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (3/650), "Ayat ini adalah nash bahwa tak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Jika tak ada nabi setelah beliau, maka tentunya tak ada rasul setelahnya, karena jenjang kerasulan lebih khusus dibandingkan dengan jenjang kenabian, karena setiap rasul adalah nabi, dan bukan sebaliknya. Inilah yang tertera dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang berasal dari sekelompok sahabat -radhiyallahu ‘anhum-".

Selain itu orang-orang Ahmadiyyah dan pengaku-pengaku kenabian lainnya di zaman ini telah mengingkari hadits-hadits shohih, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-

فِيْ أُمَّتِيْ كَذَّابُوْنَ وَدَجَّالُوْنَ سَبْعَةٌ وَعِشْرُوْنَ مِنْهُمْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ وَإِنِّيْ خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لّا نَبِيَّ بَعْدِيْ

"Di tengah ummatku ada tukang dusta, dan dajjal (jumlahnya) 27 orang, diantara mereka ada empat wanita. Sesungguhnya aku adalah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahku".
[HR. Ath-Thohawiy dalam Musykil Al-Atsar (4/104), Ahmad (5/396/no. 23406), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (3026), dan Al-Ausath (5582). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1999)]

Muhaddits Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy-rahimahullah- berkata, "Dalam hadits ini terdapat bantahan yang gamblang atas orang-orang Ahmadiyyah Qodiyaniyyah, dan Ibnu Arobi sebelumnya yang berpendapat tentang adanya kenabian setelah Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan bahwa nabi gadungan mereka, yaitu Mirza Ghulam Ahmad Al-Qodiyaniy adalah tukang dusta, dan dajjal di antara dajjal dajjal tersebut".
[Lihat Ash-Shohihah (4/655)]

Jadi, Mirza Ghulam Ahmad, dan orang-orang Ahmadiyyah adalah orang-orang kafir. Karenanya, MUI dalam Rakernas 1-4 Jumadil Akhir 1404 H/4-7 Maret 1984 M setelah meminta agar Ahmadiyyah dibubarkan, maka MUI menyerukan beberapa hal berikut teksnya,

* Agar Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, para ulama, dan da’i di seluruh Indonesia, menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jema’at Ahmadiyyah Qodiyaniyyah yang berada di luar Islam.
* Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti Jema’at Ahmadiyyah Qodiyaniyyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.
* Kepada seluruh ummat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham yang sesat itu".
[Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (hal. 96-97), diterbitkan oleh Bagian Proyek Sarana & Prasarana Produk Halal, Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam & Penyelenggara Haji, Departemen Agama RI, 2003 M]
* Pernyataan Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia


Pernyataan serupa muncul dari negeri lain, ketika para ulama Kerajaan Saudi Arabia ditanya tentang munculnya agama baru yang bernama Ahmadiyyah alias Qodiyaniyyah, maka para ulama yang tergabung dalam Lembaga Fatwa (Al-Lajnah Ad-Da’imah) di negeri itu mengeluarkan fatwa resmi sebagai berikut nasnya:

"Sungguh telah terbit pernyataan dari Pemerintah Pakistan tentang golongan ini bahwa ia adalah kelompok yang keluar (murtad) dari Islam!! Demikian pula, telah keluar pernyataan yang sama tentang kelompok ini dari Rabithah Alam Islami, di Makkah Al-Mukarramah, dan juga pernyataan dari Muktamar Organisasi-organisasi Islam yang diadakan di Rabithah, tahun 1394 H. Sungguh telah diedarkan risalah yang menjelaskan prinsip golongan ini, bagaimana ia muncul, kapan, dan seterusnya, diantara perkara yang menjelaskan hakikatnya.

Intinya , Ahmadiyyah adalah kelompok yang mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad (seorang berkebangsaan India) adalah seorang nabi yang diberi wahyu; mengakui bahwa tak sah keislaman seseorang sampai ia mau beriman kepadanya. Dia adalah seorang berkelahiran abad ke-13 Hijriyyah.

Allah -Subhanahu- sungguh telah mengabarkan dalam Kitab-Nya yang Mulia bahwa Nabi kita Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah penutup para nabi. Ulama kaum muslimin telah menyepakati hal itu. Barangsiapa yang meyakini bahwa ada nabi yang diberi wahyu dari Allah -Azza wa Jalla- setelah beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka ia kafir !! Karena ia telah mendustakan Kitab Allah -Azza wa Jalla-, dan hadits-hadits shohih dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menunjukkan bahwa beliau adalah penutup para nabi, dan juga menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ummat. Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam".
[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (2/312-313)]

Sebuah pertanyaan pernah dilayangkan ke Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al-Lajnah Ad-Da’imah) berbunyi, "Apa perbedaan antara kaum muslimin dengan orang-orang Ahmadiyyah?"

Para ulama yang diketuai oleh Al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Baaz saat itu memfatwakan , "Perbedaan antara keduanya, kaum muslimin adalah orang-orang yang hanya menyembah Allah, dan mengikuti Rasul-Nya Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , dan beriman bahwa beliau adalah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahnya. Adapun orang-orang Ahmadiyyah, mereka adalah pengikut Mirza Ghulam Ahmad. Mereka ini adalah orang-orang kafir, bukan muslim !! Karena mereka meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi setelah Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Barangsiapa yang meyakini aqidah (keyakinan) ini, maka ia kafir menurut pernyataan seluruh ulama’ kaum muslimin berdasar firman Allah –Subhanahu-,

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi".
(QS. Al-Ahzab : 40)

dan juga berdasarkan hadits yang shohih dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda,

أَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ

"Aku adalah penutup para nabi, tak ada lagi nabi setelahku".
[HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3535), Muslim dalam Shohih-nya (2286), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4252), dan Ahmad dalam Musnad-nya (2/398)]

Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam".
[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (2/314)]


Sekali lagi , ulama kita di Negeri turunnya wahyu mengeluarkan fatwa sehubungan dengan pertanyaan yang dikirimkan kepada mereka. Penanya meminta penjelasan tentang kedudukan orang Ahmadiyyah yang biasa disebut Qodiyaniyyah. Maka para ulama yang tergabung dalam Lembaga Fatwa KSA (Al-Lajnah Ad-Da’imah) memfatwakan, "Pintu kenabian telah tertutup dengan (datangnya) Nabi kita Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- . Jadi tak ada lagi nabi setelah beliau, karenanya tetapnya hal itu dalam Al-Kitab dan Sunnah. Barang siapa yang mengaku nabi setelah itu, maka ia adalah tukang dusta. Diantaranya, Mirza Ghulam Ahmad. Maka pengakuan kenabian bagi dirinya adalah kedustaan, dan sesuatu yang diyakini oleh orang-orang Qodiyaniyyah berupa kenabian Mirza adalah sangkaan yang dusta. Sungguh telah terbit pernyataan dari Hai’ah Kibar Ulama (Majelis Ulama Besar) di Kerajaan Saudi Arabia dalam menganggap orang-orang Qodiyaniyyah adalah kelompok kafir karena alasan tersebut Wabillahit taufiq, washollallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (2/313)]


Nasihat & Peringatan bagi Kaum Muslimin

Terakhir kami ingin ingatkan kepada seluruh kaum muslimin bahwa orang-orang Ahmadiyyah belakangan ini terus menjalankan makarnya untuk memurtadkan kalian dari agama kalian. Sebuah contoh, saat FPI melakukan tindak keras kepada orang-orang Ahmadiyyah, maka orang-orang Ahmadiyyah berusaha membuat opini bahwa mereka adalah orang-orang yang terzholimi, perlu didukung. Sehingga dengan momen ini, Ahmadiyyah berusaha mencari simpati dari kaum muslimin dengan berbagai cara (seperti, membagikan hadiah & shodaqoh di Makasaar). Pada gilirannya, mereka akan tetap kokoh, dan berjalan bebas di Indonesia Raya untuk melakukan aksi perusakan aqidah dan keyakinan sehingga anak bangsa ini akan menjadi murtad !!

Kami juga nasihatkan kepada kaum muslimin agar mempelajari agama yang tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah pada seorang ulama dan ustadz Ahlus Sunnah , bukan dari orang-orang sesat, apalagi kafir seperti Ahmadiyyah. Ilmu agama akan menjadi benteng kokoh dalam menghadapi segala bentuk gelombang, dan serangan aqidah sesat lagi kafir. Inilah rahasianya seorang pemuda di akhir zaman nanti akan kokoh di atas agamanya, karena ia membentengi dirinya dengan ilmu wahyu. Dia tak ragu tentang kebatilan Dajjal Pendusta, bahkan ia dengan berani menyatakan kepada Dajjal dan pengikutnya,

فَإِذَا رَآهُ الْمُؤْمِنُ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَذَا الدَّجَّالُ الَّذِيْ ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Jika Dajjal telah dilihat (dijumpai) oleh Pemuda mukmin ini, maka ia berkata, "Wahai manusia, inilah Dajjal yang pernah disebutkan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-".
[HR. Muslim dalam Shohih-nya (2938)]

Syaikh Salim Ied Al-Hilaliy -hafizhahullah- berkata ketika men-syarah hadits ini, "Seorang muslim hendaknya mengambil cahaya (petunjuk) ketika terjadinya masalah-masalah dari hadits yang shohih dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka ia akan sanggup mengenali Dajjal dengan sifat-sifatnya yang tersebut dalam Sunnah yang shohih".
[Lihat Bahjah An-Nazhirin (3/288)]

Wallahu a'lam.


[Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 72 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas].

Sumber Artikel : almakassari.com

Monday, March 7, 2011

Menjadi Teladan yang Baik Bagi Keluarga


Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A

Salah satu watak bawaan manusia sejak diciptakan Allah Ta’ala adalah kecenderungan untuk selalu meniru dan mengikuti orang lain yang dikaguminya, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف”

“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih”[1].
Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

Dalam banyak ayat al-Qur’an Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah keteladanan para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam meneguhkan keimanan mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}

“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”
(QS Huud:120).

Ketika menjelaskan makna ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata: “Yaitu: supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan…”[2].


Menjadikan diri sebagai panutan dalam keluarga

Termasuk teladan kebaikan yang utama bagi keluarga kita adalah diri kita sendiri, karena tentu saja kita adalah orang yang paling dekat dengan mereka dan paling mudah mempengaruhi akhlak dan tingkah laku mereka. Maka menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anggota keluarga adalah termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan[3].

Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta bersegera dalam kebaikan[4].

Oleh karena itu, seorang pendidik yang ingin berhasil dalam mendidik anggota keluarganya, hendaknya berusaha memanfaatkan keberadaannya di tengah-tengah keluarganya untuk mendidik dan mengarahkan mereka kepada petunjuk Allah Ta’ala, bukan hanya dengan ucapan dan nasehat, tapi lebih dari itu, dengan menampilkan teladan baik yang langsung terlihat di mata mereka.

Hal ini disamping membiasakan mereka melihat praktek amal-amal kebaikan, juga akan menumbuhkan kecintaan dan kekaguman dalam diri mereka terhadapnya, yang pada gilirannya akan memudahkan mereka untuk mengikuti semua bimbingan dan petunjuknya.

Dalam hal ini, imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibarahim al-Harbi rahimahullah [5]. Dari Muqatil bin Muhammad al-’Ataki rahimahullah, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”[6].

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah, ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata: “Jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktek (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu, inilah yang dinamakan dengan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’ “[7].


Memberi manfaat rohani bagi anggota keluarga


Seorang pendidik yang berilmu diperumpamakan seperti hujan yang baik, dimanapun dia berada maka dia akan memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya[8].

Inilah makna firman Allah Ta’ala tentang ucapan Nabi Isa ‘alaihis salam:

{وَجَعَلَنِي مُبَارَكاً أَيْنَ مَا كُنتُ}

“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada”
(QS Maryam:31).

Artinya: Dia menjadikan aku bermanfaat bagi orang-orang yang hidup di sekitarku, dengan aku mengajarkan kebaikan kepada mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, serta menyeru mereka ke jalan Allah dengan ucapan dan perbuatanku”[9].

Di dalam biografi beberapa ulama salaf, kita dapati banyak kisah nyata peranan seorang pendidik dalam memberikan manfaat kebaikan bagi orang-orang yang hidup di sekitarnya.

Misalnya, apa yang disebutkan dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi’in, Hasan bin Abil Hasan Al Bashri rahimahullah [10], ketika Khalid bin Shafwan[11] menerangkan sifat-sifat Hasan Al Bashri kepada Maslamah bin Abdul Malik[12] dengan berkata: “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan perbuatannya, kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan tersebut…dan seterusnya”, setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin Abdul Malik berkata: “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di tengah-tengah mereka?”[13].

Demikian pula apa yang disebutkan dalam biografi imam Abdur Rahman bin Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan al-Qurasyi[14], bahwa beliau adalah seorang yang sangat tekun beribadah, maka suatu hari imam Ali bin Abdullah bin ‘Abbas[15] melihatnya dan kagum dengan ketekunannya beribadah, maka beliaupun meneladaninya dalam kebaikan[16].

Inilah gambaran keberkahan hidup dan manfaat keberadaan seorang pendidik di tengah masyarakatnya, terlebih lagi di tengah keluarganya, orang-orang yang paling berhak mendapatkan manfaat baik darinya.


Sebaik-baik teladan bagi keluarga muslim

Tentu saja, sebaik-baik teladan bagi keluarga muslim adalah Nabi mereka, nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku diutus (oleh Allah Ta’ala) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”[17].

Beliau r adalah orang yang paling kuat dan sempurna dalam menjalankan petunjuk Allah Ta’ala, mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya[18]. Oleh karena itulah Allah Ta’ala sendiri yang memuji keluhuran budi pekerti beliau dalam firman-Nya:

{وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ}

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
(QS al-Qalam:4).

Dan ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab: “Sungguh akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an”[19].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok teladan dan idola yang sempurna bagi orang-orang yang beriman kepada Allah yang menginginkan kebaikan dan keutamaan dalam hidup mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”
(QS al-Ahzaab:21).

Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[20].

Kemudian setelah itu, idola yang utama bagi seorang mukmin adalah orang-orang yang teguh dalam menegakkan tauhid dan keimanan mereka, sehingga Allah Ta’ala sendiri yang memuji perbuatan mereka sebagai “suri teladan yang baik” dalam firman-Nya:

{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ}

Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (yang mengikuti petunjuknya); ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah semata”
(QS al-Mumtahanah:4).

Ketika mengomentari ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya keimanan dan pengharapan balasan pahala (dalam diri seorang muslim) akan memudahkan dan meringankan semua yang sulit baginya, serta mendorongnya untuk senantiasa meneladani hamba-hamba Allah yang shaleh, (utamanya) para Nabi dan Rasul ‘alahis salam, karena dia memandang dirinya sangat membutuhkan semua itu” [21].

Demikian pula para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan shaleh yang utama bagi orang yang beriman, karena Allah Ta’ala memuji mereka dalam banyak ayat al-Qur’an,

di antaranya firman-Nya:

{مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا}

“Muhammad itu adalah utusan Allah Ta’ala dan orang-orang yang bersama dia (para sahabat) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi penyayang di antara sesama mereka, kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”
(QS al-Fath:29).

Dalam hal ini, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa di antara kamu yang ingin mengambil teladan, maka hendaknya dia berteladan dengan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling dalam pemahaman (agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, maka kenalilah keutaman mereka dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang lurus”[22].


Pengaruh positif teladan yang baik bagi keluarga

Diantara pengaruh positif teladan yang baik adalah hikmah yang Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:

{وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ}

“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”
(QS Huud:120).

Dalam ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang ketabahan dan kesabaran para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperjuangkan dan mendakwahkan agama Allah Ta’ala sangat berpengaruh besar dalam meneguhkan hati dan keimanan orang-orang yang beriman di jalan Allah Ta’ala.

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala berfirman: semua yang kami ceritakan padama tentang kisah para rasul ‘alaihimussalam yang terdahulu bersama umat-umat mereka, ketika mereka berdialog dan beradu argumentasi (dengan umat-umat mereka), ketabahan para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam (menghadapi) pengingkaran dan penyiksaan (dari musuh-musuh mereka), serta bagaimana Allah Ta’ala menolong golongan orang-orang yang beriman dan menghinakan musuh-musuh-Nya (yaitu) orang-orang kafir, semua ini adalah termasuk perkara yang (membantu) meneguhkan hatimu, wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar engkau bisa mengambil teladan dari saudara-saudaramu para Nabi yang terdahulu”[23].

Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah berkata: “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih aku sukai dari pada kebanyakan (masalah-masalah) fikh, karena kisah-kisah tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani)” [24].

Demikian pula termasuk manfaat besar teladan yang baik bagi keluarga adalah menumbuh suburkan rasa kagum dan cinta dalam diri mereka kepada orang-orang bertakwa dan mulia di sisi Allah Ta’ala, yang ini merupakan sebab utama meraih kemuliaan yang agung di sisi Allah Ta’ala, yaitu dikumpulkan bersama orang-orang shaleh tersebut di surga kelak, karena seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya pada hari kiamat nanti.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”. Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata: “Kami (para sahabat) tidak pernah merasakan suatu kegembiraan (setelah masuk Islam) seperti kegembiraan kami sewaktu mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Engkau bersama orang yang kamu cintai (di surga kelak)”, maka aku mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan aku berharap akan (dikumpulkan oleh Allah Ta’ala) bersama mereka (di surga nanti) karena kecintaanku kepada mereka, meskipun aku belum mengerjakan amalan seperti amalan mereka”[25].


Penutup

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua kaum muslimin, utamanya bagi mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik anggota keluarganya.

Dan kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua, dan memudahkan kita menjadi penyebab kebaikan bagi orang-orang di sekitar kita, utamanya keluarga kita, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين



Catatan Kaki:
[1] HSR al-Bukhari (no. 3158) dan Muslim (no. 2638).

[2] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 392).

[3] Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).

[4] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsir beliau (hal. 271).

[5] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi rahimahullah (wafat 285 H), biografi beliau rahimahullah dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).

[6] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).

[7] Kitab “Hirasatul fadhiilah” (hal. 127-128).

[8] Lihat kitab “Ma’aalimu fi thariiqi thalabil ‘ilmi” (hal. 131).

[9] Lihat kitab “Fathul Qadiir” (4/454) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 492).

[10] Beliau rahimahullah adalah Imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi’in ‘senior’ (wafat 110 H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari para ulama menobatkannya sebagai tabi’in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (6/95) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/563).

[11] Beliau adalah Abu Bakr Khalid bin Shafwan bin Al Ahtam Al Minqari Al Bashri rahimahullah, seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (6/226).

[12] Beliau adalah Maslamah bin Abdil Malik bin Marwan bin Al Hakam rahimahullah (wafat 120 H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin Abdul Aziz dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamaal” (27/562) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/241).

[13] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (2/576).

[14] Beliau adalah cucu sahabat yang mulia ‘Utsman bin ‘Affan t, seorang imam ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 335).

[15] Beliau adalah putra sahabat yang mulia Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, seorang imam ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 403).

[16] Kitab “Siyaru a’laamin nubala’” (5/10-11).

[17] HR Ahmad (2/381) dan al-Hakim (no. 4221), dishahihkan oleh al-Hakim rahimahullah dan disetujui oleh adz-Dzahabi rahimahullah, serta dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 45).

[18] Lihat keterangan imam an-Nawawi rahimahullah dalam kitab “Syarh shahih Muslim” (6/26).

[19] HSR Muslim (no. 746).

[20] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsir beliau (hal. 481).

[21] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 856).

[22] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 1118).

[23] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (2/611).

[24] Dinukil oleh imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanadnya dalam kitab “Jaami’u bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi” (no. 595).

[25] HSR al-Bukhari (no. 3485) dan Muslim (no. 2639).

Kota Kendari, 25 Sya’ban 1431 H

Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Artikel Dari : Madrasah Ibnu Abbas dan dipublikasikan kembali oleh Artikel Islam Salafiyah


Saturday, March 5, 2011

Berbuat Baik Disukai Allah

“Dan berbuat baiklah (ihsan), karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195).

Ali bin al-Husain memiliki hamba sahaya perempuan. Suatu hari sang budak menuangkan air wudu untuknya. Tanpa disengaja, ceret, tempat air wudhu, jatuh menimba wajah Ali hingga terluka. Ali Zainal Abidin dengan marah menatap wajah sang budak. Merasa bersalah sang budak berkata, (mengutip surah Ali Imran ayat 134 yang menyebutkan kriteria orang bertakwa), “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Wal kaazimiinal ghaidl,’ (Dan orang yang menahan amarahnya).”
Ali menjawab, “Aku telah menahan amarahku.”
Hamba sahaya berkata lagi, “Wal ‘aafiina ‘anin nas” (Dan orang-orang yang memberikan maafnya).
Ali menimpali, “Semoga Allah memaafkan kamu.”
Ia berkata lagi, “Wallahu yuhibbul muhsiniin” (Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan).
Ali membalas, “Engkau telah kubebaskan karena Allah Azza wa Jalla.” 
(Al-Bidayah IX/112).

Subhanallah! sungguh sebuah sikap yang mengagumkan. Amarah yang berhenti dalam sekejab karena dibacakan ayat, disusul pemberiaan maaf, bahkan pembebasan budak karena dorongan berbuat ihsan. Tercermin sebuah kematangan emosi, pengagungan akan ayat Allah, dan sikap memilih dan melakukan yang terbaik (ahsanahu).

Itulah profil muslim. Karena, Islam dibangun di atas tiga pilar: Islam, iman, dan ihsan. “Tadi adalah Malaikat Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan persoalan din kepada kalian.” Itulah jawaban Rasulullah ketika malaikat datang dan bertanya perihal Islam, iman dan ihsan. Jadi, dinul Islam dibangun di atas ketiganya.

Perbuatan ihsan itu banyak bentuk dan ragamnya. Ihsan dalam hal ibadah, seperti jawaban Rasulullah saw. kepada Jibril, “Ihsan adalah hendaklah engkau beribadah kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
(HR Muslim).

Ihsan dalam ibadah adalah adanya rasa selalu diawasi Allah Taala ketika menunaikannya, seolah ia melihat Allah, atau minimal merasakan bahwa Allah melihatnya. Untuk itu, harus dilakukan dengan menyempurnakan syarat, rukun, sunah dan tata-caranya. Karena, ibadah tidak akan dilihat oleh Allah jika menyelisihi tata-cara yang disyariatkan. Demikian ditulis oleh Abu Bakar al-Jazairi dalam Minhajul Muslim.

Beliau juga menilis bentuk-bentuk berbuat ihsan dalam bidang muamalah, misalnya dengan berbuat baik kepada orang tua, sanak keluarga, anak yatim, orang miskin, musafir, pembantu, manusia secara umum dan hewan, seperti tersebut dibawah ini.

Berbuat baik kepada orang tua bisa dengan menaatinya, memberikan kebaikan kepada keduanya, tidak menyakiti keduanya, mendoakan keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, melaksanakan wasiat-wasiat keduanya dan menghormati teman-teman keduanya.

Berbuat baik kepada sanak keluarga misalnya dengan menyayangi mereka, lemah lembut terhadap mereka, mengerjakan perbuatan baik bersama mereka, tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyusahkan mereka dan tidak menjelek-jelakkan ucapan mereka.

Berbuat baik kepada anak yatim ialah dengan menjaga harta mereka, melindungi hak-hak mereka, mendidik mereka, membina mereka, tidak menyakiti mereka, tidak memaksa mereka, ceria di depan mereka, dan mengusap kepala mereka.

Berbuat baik kepada orang-orang miskin adalah dengan menghilangkan kelaparan mereka, menutup aurat mereka, menganjurkan manusia memberi makan kepada mereka, tidak mencaci kehormatan mereka, tidak menghina mereka, dan tidak menimpakan kesusahan kepada mereka.

Berbuat baik kepada musafir ialah dengan memenuhi kebutuhannya, menutup aibnya, menjaga hartanya, melindungi kemuliannya, memberinya petunjuk jika ia meminta petunjuk, dan menunjukkannya jika tersesat.

Berbuat baik kepada pembantu adalah dengan menggajinya sebelum keringatnya kering, tidak menyuruhnya mengerjakan pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan, menjaga kemuliaannya, dan menghormati kepribadiannya. Jika pembantu tersebut menetap di rumah yang dibantu, baginya memberi makan seperti yang ia makan, memberi pakaian seperti yang ia kenakan.

Berbuat baik kepada manusia secara umum antara lain dengan berkata lembut kepada mereka, mempergauli mereka dengan pergaulan yang baik setelah sebelumnya menyuruh mereka kepada kebaikan, melarang mereka dari kemungkaran, memberi petunjuk kepada orang yang tersesat di antara mereka, mengajari orang jahil di antara mereka, mengakui hak-hak mereka, tidak mengganggu mereka dengan mengerjakan tindakan yang membahayakan mereka dan lain sebagainya.

Berbuat baik kepada hewan adalah dengan memberinya makan jika lapar, mengobatinya jika sakit, tidak membebani dengan muatan yang tidak mampu ditanggungnya, lemah lembut terhadapnya jika bekerja, dan mengistirahatkannya jika lelah.

Begitulah bentuk-bentuk ihsan. Semoga kita tergolong dalam barisan muhsinin yang dicintai Allah, seperti dalam firman di atas, “Dan berbuat baiklah (ihsan), karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(Al-Baqarah: 195).

Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis : Abu Zahrah

Sumber Artikel : http://abihafiz.wordpress.com/

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites