This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, April 29, 2011

Al-Qur’an Di Hati Seorang Muslim


Ada beberapa pertanyaan yang selalu menggelayuti hati ketika melihat kondisi kaum muslimin. Pertanyaan itu sebagai berikut :

Bukankan Allah itu Maha Penyayang dan sangat menyayangi umat beriman ?.

Bukankan Allah itu Maha berkuasa dan mampu menjayakan kaum muslimin ?.

Bukankan Al Qur’an yang kita baca dalam shalat kita adalah sumber kebahagiaan, kejayaan, kemakmuran bagi yang mengamalkannya ?.
Bukankah kaum muslimin itu umat terbaik yang diutus untuk memimpin, bukan dipimpin umat lain, mendidik bukan dididik umat lain ?.

Bukankah umat Islam dijadikan Allah sebagai umat yang satu ?. Lalu kalau kita ingin memproyeksikan hakekat di atas dengan kondisi kaum muslimin pada masa kini, maka hasilnya akan menuntut kita untuk lebih merenung, dimana kejayaan kaum muslimin ?, dimana harga diri kaum muslimin, bahkan dimana harga darah seorang muslim di mata kaum muslimin sendiri ?, dimana kepemimpinan, kejayaan kaum muslimin diatas kaum yang lainnya ?, dimana solidaritas sesama kaum muslimin ? dalam skala nasional maupun internasional .

Kemudian saya membaca ayat ini :

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد:16)

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik"
( QS. Al-Hadiid: 16)

Dan merenungi rintihan Rasulullah kepada Robbnya dengan mengatakan :

)وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوراً) (الفرقان:30)

"Berkatalah Rasul: wahai Robbku sungguh kaumku telah menjadikan Alquran ini sesuatu yang ditinggalkan”.
( QS. Al-Furqaan: 30 )

Ditinggalkan karena mereka tak membacanya, atau tidak mau merenungi maknanya atau tidak mau mengamalkan isinya.

Yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan diatas adalah kita bersama merenungi sambutan Rasulullah dan para sahabat terhadap Al Qur’an dan bagaimana kedudukan Al Qur’an dihati mereka.

Bagaimana Al Qur’an di hati Rasulullah dan para sahabat ?

Pertama :
Para sahabat memandang kebesaran Al Quran dari kebesaran yang menurunkannya, kesempurnaannya dari kesempurnaan yang menurunkannya, mereka memandang bahwa Al Qur’an turun dari Raja, Pemelihara, Sesembahan yang Maha Perkasa, Maha Mengetaui, Maha Kasih Sayang, sebagaimana ditekankan oleh Allah dalam berbagai permulaan surat :

} تنـزيل الكتاب من الله العزيز الحكيم{ سورة الزمر، الجاثية، الأحقاف، }تنـزيل الكتاب من الله العزيز العليم { سورة المؤمن، } تنـزيل من الرحمن الرحيم{ سورة فصلت } كذلك يوحي إليك وإلى الذين من قبلك الله العزيز الحكيم ،له ما في السموات وما في الأرض وهو العلي العظيم { سورة الشورى

Dari pandangan ini mereka menerima Al Qur’an dengan perasaan bahagia campur perasaan hormat, siap melaksanakan perintah dan perasaan cemas dan harapan, serta perasaan kerinduan yang amat dalam, bagaimana tidak ?, karena orang yang membaca Al Qur’an berarti seakan mendapat kehormatan bermunajat dengan Allah, sekaligus seperti seorang prajurit yang menerima perintah dari atasan dan seorang yang mencari pembimbing mendapat pengarahan dari Dzat yang maha mengetahui.

Dan perasaan inilah yang digambarkan oleh Allah dalam Firmannya :

} أولئك الذين أنعم الله عليهم من النبيين من ذرية آدم وممن حملنا مع نوح ومن ذرية إبراهيم وإسرائيل وممن هدينا واجتبينا إذا تتلى عليهم آيات الرحمن خروا سجدا وبكياً{ (سورة مريم الآية : 58 )

"Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis"
(QS. Maryam: 58)

} إن الذين أوتوا العلم من قبله إذا يتلى عليهم يخرون للأذقان سجداً ويقولون سبحان ربنا إن كان وعد ربنا لمفعولاً ويخرون للأذقان ويزيدهم خشوعاً { (سورة الإسراء: 107-109)

"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi"(108) Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu' "
( QS. Al-Israa: 107-109)

Perasaan diatas menyebabkan Umu Aiman menangis ketika teringat akan wafatnya Rasulullah. Suatu saat Abu Bakar dan Umar berkunjung kepada ibu asuh Rasulallah, Ummu Aiman dan ketika mereka duduk, menagislah Ummu Aiman karena teringat wafatnya Rasulallah, maka berkatalah Abu Bakar dan Umar, “Kenapa anda menangis sementara Rasulullah mendapatkan tempat yang mulia” ? Ummu Aiman menjawab, "Saya menangis bukan karena meninggalnya beliau melainkan karena terputusnya wahyu Allah yang datang kepada beliau pada pagi dan petang hari", maka saat itu pula meledaklah tangisan mereka bertiga .

Dari perasaan diatas para sahabat membaca dan menerima Al Qur’an untuk dilaksanakan secara spontan tanpa menunggu-nunggu dan tanpa protes sedikitpun, walau-pun hal itu bertentangan dengan kebiasaan mereka, tapi mereka bisa menundukkan perasaan mereka dengan kecintaan kepada Allah.

Ketika turun perintah untuk memakai jilbab pada surat Al Ahzab : 59, malam hari Rasulallah menyampaikan ayat itu kepada para sahabat, pagi harinya para istri sahabat sudah memakai jilbab semua, bahkan `Aisyah mengatakan, "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshor, mereka diperintah untuk memakai hijab pada malam hari sementara pada paginya mereka sudah memakainya, bahkan ada yang merobek kelambu mereka untuk dijadikan jilbab".

Ketika diharamkannya khomer dan ayat itu sampai kepada mereka, saat itu juga langsung mereka membuang simpanan khomernya dan menuang apa yang masih berada pada tangannya.

Salah satu rahasia keajaiban para sahabat dalam berinteraksi dengan Al Qur’an adalah keimanan mereka kepada Allah, surga dan neraka-Nya, juga kepada janji-Nya, sehingga mereka melakukan sesuatu yang apabila dilihat oleh orang yang tak/tidak memahami latar belakang ini akan sulit menafsirkannya.

Seperti ketika mereka membaca tentang janji Allah buat orang-orang yang berjihad karena cinta kepada Allah, seorang sahabat yang bernama Umair bin Hamam sedang makan korma bertanya: wahai Rasulullah, “Dimana saya kalau saya mati dalam perang ini ? Rasululloh menjawab "Di sorga", berkatalah Umair : "Sungguh menunggu waktu masuk surga sampai menghabiskan makan kurma tujuh biji ini adalah sangat lama”, dan akhirnya dibuanglah sisa kurma yang belum dimakan dan langsung memasuki pertempuran sampai menemui syahidnya.

Kondisi keimanan yang tinggi ini menjadi episode kehidupan mereka untuk menjadi bagian dari yang diceritakan oleh Allah dalam Al Qur’an, Hal itu seperti perhatian orang-orang Anshor terhadap orang-orang muhajirin atau perhatian mereka terhadap orang-orang yang lemah, seperti yang Allah ceritakan dalam surat Al Hasyr dimana Rasulullah kedatangan tamu dan beliau tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya, akhirnya beliau tawarkan hal itu kepada sahabatnya, siapa yang bersedia membawa tamu beliau, dengan sepontan salah satu sahabat bersedia, tetapi ketika sampai rumah ternyata istrinya bilang bahwa tidak ada persediaan makanan kecuali makan malam anaknya, maka sahabat tadi memerintahkan istrinya agar mengeluarkan makanan tadi untuk tamunya dan mengeluarkan dua piring kemudian segera mematikan lampu ketika tamunya sedang makan, tamunya makan dan tuan rumah menampakkan seakan-akan ikut makan bersama, agar dia bisa makan dengan enak, ketika sampai pagi hari sahabat tadi bertemu dengan rasul dan beliau bilang kalau Allah heran dengan apa dia lakukan, maka turunlah firman Allah ayat kesembilan dari surat al Hasyr.


Kedua :
Rasulullah dan para sahabat memandang Al Qur’an sebagai obat bagi segala penyakit hati dan ketika mereka membaca Al Quran yang berbicara tentang segala kelemahan hati, penyakit hati, mereka tidaklah merasa tersinggung bahkan mereka berusaha mengoreksi hati mereka dan membersihkan segala sifat yang dicela oleh Al Qur’an serta berusaha untuk bertaubat dari apa yang dikatakan buruk oleh Al Qur’an .

Maka sudah pantaslah ketika Al Qur’an banyak menceritakan sifat-sifat munafiqin mulai dari malas shalat, sedikit berdzikir, pengecut, mengambil orang kafir sebagai pemimpin dan lain-lainnya, para sahabat segera mengkoreksi hati mereka dan mencari obatnya, walaupun mereka tidak dihinggapi penyakit itu, berkatalah Abdullah ibnu Mulaikah :

أدركت سبعين من أصحاب محمد e كلهم يخافون من النفاق.

“Aku mendapatkan tujuh puluh dari sahabat nabi, mereka semua takut kalau terkena penyakit nifaq”.

Ketika sahabat Handholah merasa adanya fluktuasi keimanan, maka segeralah ia datang kepada Rasulallah dengan mengatakan “Ya Rasulallah nifaqlah Handholah”, berkatalah Rasul Allah : "Kenapa ?" Handlolah menjawab: “Wahai Rasul Allah kalau saya sedang berada disamping engkau dan engkau ingatkan kami dengan sorga dan neraka, jadilah sorga dan neraka seakan-akan jelas dimata kami, tapi jika kami pulang dan bergaul dengan anak istri serta sibuk dengan harta kami, kami banyak lupa, bersabdalah Rasulallah, “Wahai Handholah kalau kalian berada dalam kondisi seperti itu (seakan melihat sorga dan neraka) terus menerus pastilah para malaikat menyalami kalian dijalan-jalan kalian”.

Dari sensitifitas perasaan Handholah dalam berinteraksi dengan Al Qur’an, ia bisa mengalahkan perasaan ingin dekat dengan istrinya pada malam pertama dan ditinggalkannya untuk berjihad sampai syahid, padahal ia belum sempat mandi junub, sehingga Rasulullah bersabda bahwa ia dimandikan oleh para malaikat .


Ketiga :
Para sahabat memandang bahwa Al Qur’an adalah nasehat dari Dzat yang amat sayang dengan mereka yang sangat perlu didengar, yang berarti bahwa mereka sangat menyadari kalau mereka bisa salah, tapi akan segera kembali kepada kebenaran manakala ada teguran dari Al Qur’an.

Ma’qil bin Yasar pernah menikahkan adik perempuannya dengan salah seorang sahabat, tapi kemudian di cerainya sampai habis masa iddahnya, kemudian bekas suami tadi melamar lagi dan karena Ma’qil sedang marah beliau tolak lamarannya dan bertekad untuk tidak menikahkan kembali keduanya, padahal adiknya juga masih cinta dengan bekas suaminya serta ingin kembali kepadanya. Dengan kejadian ini Allah menurunkan ayat :

)وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ) (البقرة:232)

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui"
( QS. Al-Baqarah: 232 )

Setelah turun ayat ini Ma’qil langsung menikahkan adiknya lagi dengan sahabat mantan suamiya .

Sahabat hidup dengan misi, “Risalah menyelamat-kan seluruh manusia dari perbudakan manusia untuk manusia menuju penghambaan Allah yang Esa dan mengeluarkan mereka dari kedhaliman sistim manusia menuju keadilan Islam dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan akherat”, dan pastilah kaum yang membawa misi demikian ada pendukung dan musuhnya, maka mereka menjadikan Al Qur’an sebagai pembimbing untuk mengetahui musuh-musuh Allah, dan musuh mereka, siapa wali-wali mereka dan wali-wali Allah dan mereka memperlakukan manusia sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Allah, mereka cinta terhadap ayah, anak, istri, serta kerabat mereka. Tetapi jika yang dicintai itu memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta membenci Islam, maka mereka segera merubah sikapnya dengan hanya memihak Allah dan mencabut perasaan cintanya kepada selain Allah,

Allah berfirman :

}لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) (المجادلة:22)

." Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung"
(QS. Al-Mujaadilah: 22)

Ayat ini turun berkenaan ketika Abu Ubidah bin Jaroh membunuh ayahnya di perang Badar, karena ayahnya bersama pasukan kuffar Quraisy .


Keempat :
Para sahabat memandang bahwa seluruh alam semesta dan diri mereka adalah ciptaan Allah dan tidak mungkin membudidayakan alam semesta serta mengatur mereka kecuali Dzat yang menciptakannya, sehingga mereka meyakini bahwa keimannya menuntut untuk menjadikan Al Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, mereka menjadikan Al Quran sebagai way Of live –pedoman hidup- mereka dan sangat sensitif terhadap usaha-usaha yang akan memisahkan satu bagian sistim Islam dengan bagian yang lainnya.

Pantaslah kalau Kholifah Abu Bakar berpidato ketika banyak orang yang murtad dan tidak mau membayar zakat, dengan mengatakan :

أينقص الدين وأنا حي !! والله لو منعوني عقالاً كانوا يؤدونه إلى رسول الله e لقاتلتهم على منعه رواه مسلم .

“Apakah agama ini akan dikurangi padahal saya masih hidup, demi Allah kalau mereka menghalangi tali yang mereka serahkan kepada Rasulallah pastilah aku perangi mereka atas keengganannya”.

Mereka menyadari betul adanya perbedaan antara orang yang belum mampu melaksanakan, dengan orang yang sengaja memilih-milih apa yang mau dilakukan dan apa yang ditolak.

Yang pertama masih dalam ruang lingkup iman seperti Raja Habsyi yang dishalati ghoib oleh Rasulallah, padahal ia belum melaksanakan hukum Islam, karena belum mampu. Adapun yang sengaja pilih-pilih seperti memilih beras, mereka mencap orang tersebut sudah keluar dari Islam atau munafiqin,

sebagaimana yang Allah firmankan :

} أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ{ (البقرة: من الآية85)

“Apakah kalian beriman dengan sebagian kitab dan kafir terhadap sebagian yang lain? Tidaklah balasan orang yang melakukan demikian kecuali kehinaan didunia dan dihari qiamat mereka dikembalikan ke adzab yang sangat keras. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
( QS. Al-Baqarah: 85 )

Keuniversalan dan keintegralan Al Qur’an ini digambarkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib dalam ucapannya :

هو كتاب الله فيه نبأ من قبلكم ،وخبر ما بعدكم وحكم ما بينكم هو الفصل ليس بالهزل من تركه من جبار قصمه الله ومن ابتغى الهدى في غيره أضله الله وهو حبل الله المتين وهو الذكر الحكيم وهو الصراط المستقيم وهو الذي لا تزيغ به الأهواء، ولا تلتبس به الألسنة ولا يشبع منه العلماء ولا يخلق عن كثرة الردّ ولا تنقضي عجائبه وهو الذي لم تنته الجن إذا سمعته حتى قالوا } إنا سمعنا قرآناً عجباً، يهدى إلى الرشد فآمنا به { من قال به صدق ومن عمل به أجر ومن حكم به عدل ومن دعا إليه هدي إلى صراط مستقيم .

“Dia adalah Kitabullah yang di dalamnya ada berita orang sebelum kalian, kabar apa yang terjadi setelah kalian, hukum diantara kalian, dia adalah keputusan yang serius bukan main-main, barang siapa meninggalkannya dengan kesombongan pasti dihancurkan oleh Allah , barang siapa mencari petunjuk dari selainnya akan disesatkan oleh Allah, dialah tali Allah yang kokoh, dialah peringatan yang bijaksana, dialah jalan yang lurus, dialah yang dengannya hawa nafsu tidak menyeleweng, dan tidak akan rancu dengannya lisan, dan tidak kenyang-kenyangnya dari (membacanya, mempelajarinya) para ulama, tak akan usang karena diulang-ulang, dan tak habis-habis keajaibannya, dan dialah yang jin tak henti-hentinya dari mendengarnya sehingga dia mengatakan; “Sungguh kami mendengar Al- Qur’an yang penuh keajaiban, menunjukkan ke jalan lurus, maka kami beriman dengannya", barang siapa yang berkata dengannya pasti benar, barang siapa beramal dengannya pasti diberi pahala, barang siapa menghukumi dengannya pastilah adil, barang siapa mengajak kepadanya pasti di tunjuki kejalan yang lurus.


Kelima :
Para sahabat memandang bahwa Al Qur`an adalah kasih sayang dari Allah, mereka melihat bahwa seluruh isi Al Quran, baik itu aqidah, hukum, perintah, larangan serta berita–beritanya hanyalah untuk kebaikan manusia, maka mereka menerimanya dengan senang hati, adapun yang menolak hukum Islam pada dasarnya adalah lebih memihak kepada para pemeras orang lemah dari pada memihak orang yang diperas, lebih sayang dengan para pembunuh dari pada yang dibunuh atau lebih memihak para penggarong dan pemerkosa dari pada yang di garong dan diperkosa, lebih memihak musuh Allah dari pada memihak Allah, dan secara implisit menuduh Allah keras dan dholim, orang yang semacam ini perlu intropeksi akan hakekat keimanannya.

Sedangkan para sahabat memahami hal tersebut di atas sebagaimana memahami wajibnya puasa dari firman Allah :

" كتب عليكم الصيام "

"Telah diwajibkan bagi kalian untuk berpuasa"
(QS. Al-Baqarah)

Mereka juga memahami wajibnya jihad, menegakkan qishos, mengamalkan wasiyat dengan firman Allah :

}كتب عليكم القصاص{ }كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت { }كتب عليكم القتال{ سورة البقرة

"Telah diwajibkan bagi kalian hukum qishash" "Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut" "Diwajibkan bagi kalian untuk berperang"
(QS. Al-Baqarah)

Para sahabat menjadikan Al Qur’an sebagai penerang hakekat hidup, dari Al Qur’an mereka mengetahui bahwa dunia ini hanya seperti tanaman di ladang yang hijau kemudian menguning dan hancur, maka mereka sangat zuhud dengan dunia, mereka mengetahui dari Al Qur’an bahwa rizqi, umur sudah ditentukan oleh Allah dan tidak akan berkurang karena perjuangan, maka mereka terus berjuang dan berjihad tanpa takut mati dan tidak pula takut kehilangan harta, mereka mengetahui bahwa mereka diciptakan dalam kondisi bertingkat-tingkat dalam hal ekonomi, kecerdasan dan kekuatan fisik untuk menguji mereka akan tugas yang mereka pikul, maka ketika mereka menjadi para gubernur dan kholifah mereka melihat itu semua sebagai tugas bukan suatu kehormatan,

apalagi ketika mereka mendengar Rasulullah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori-Muslim :

" ما من عبد يسترعيه الله رعية فلم يحطها بنصيحة إلا لم يجدها رائحة الجنة " (متفق عليه )

“Tidaklah ada seorang hamba yang dijadikan Allah memimpin rakyat kemudian tidak serius dalam memikirkan kemaslahatannya kecuali tidak akan mencium baunya sorga” (HR. Muttafaq 'alaih.)

" ما من وال يلي رعية من المسلمين فيموت وهو غاش لهم إلا حرم الله عليه الجنة " ( متفق عليه )

“Tidaklah ada seorang wali (pemimpin) rakyat dari kaum muslimin kemudian mati dalam kondisi curang terhadap mereka kecuali Allah haramkan atas dia sorga”
(HR. Muttafaq 'alaihi.)

Para sahabat ketika mendengar hadits ini mereka langsung bersungguh-sungguh dalam memikirkan nasib rakyatnya, sangat berhati hati dalam mengelola harta rakyat sampai Kholifah Umar mengatakan, “Saya menempatkan diri saya dengan baitul mal ini seperti wali yatim dengan harta anak yatim, kalau kaya tidak makan sama sekali darinya dan kalau miskin makan secukupnya”, dan pantaslah Umar dalam musim kelaparan ikut merasakan dan ikut terdengar keroncongan perutnya, beliau mengatakan kepada perutnya :

قرقري أو لا تقرقري فإنك لن تشبعي حتى يشبع المسلمون .

“Silahkan perutku engkau keroncongan atau tidak keroncongan, engkau tak akan kenyang kecuali kalau seluruh kaum muslimin sudah kenyang”.

Dan itu semua dikarenakan para sahabat diberi keimanan sebelum menerima Al Quran sehingga mereka selalu membacanya siang dan malam dan memiliki waktu mingguan dan bulanan dalam menghatamkan bacaan Al-Qur’an, mereka tidak pernah merasa kenyang dari membaca Al Qur’an dan mentadaburinya sebagaimana Allah ceritakan kondisi mereka :

" الذين آتيناهم الكتاب يتلونه حق تلاوته أولئك يؤمنون به "

“Orang-orang yang Kami berikan kitab, mereka membacanya dengan sebenar-benar bacaan mereka itulah orang yang benar–benar beriman dengannya”.

" أمن هو قانت آناء الليل ساجدا وقائما يحذر الآخرة ويرجو رحمة ربه قل هل يستوى الذين لا يعلمون والذين لا يعلمون إنما يتذكر أو لو الألباب . سورة الزمر : الآية :9

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran"
(QS. Az-Zumar: 9).

Mereka tidak hanya mencukupkan diri dengan membaca, akan tetapi tapi mereka mentadabburinya sehingga diantara mereka ada yang mengulang-ulang satu ayat dalam shalatnya sampai fajar.


Terakhir
mereka melihat Al Quran sebagai sesuatu yang mengorbit kepada tauhid yang isinya berkisar :


أ - التوحيد : معرفة الله توحيده وجلاله، عظمته، ورحمته، وقربه من عبادة .

A : Tauhid:
Mengetahui Allah bahwa Dia adalah yang Maha Esa, Agung, Mulia, Pemberi Rahmat dan dekat dengan hamba-Nya.

ب - آيات التوحيد و قدرة الله .

B : Bukti-bukti ketauhid-an dan kekuasan Allah .

ج - حقوق التوحيد : الأوامر والنواهي وإخلاص العبادة, جعل الحكم له خالصاً .

C : Hak tauhid yaitu perintah untuk dijalankan, larangan untuk ditinggalkan, ibadah untuk ditunaikan, ikhlas dalam beribadah dan menjadikan hukum ditegakkan hanya untuk Allah, karena Allah telah menegaskan bahwa hukum hanya milik Allah dan kalau menyembah Allah haruslah menjadikan hukumnya sebagai aturan kehidupan dan itu sarat agar agama seseorang menjadi agama yang lurus :

" إن الحكم إلا لله أمر ألا تعبدوا إلا إياه ذلك الدين القيم "

“Hukum itu milik Allah dan tidaklah kalian diperintah kecuali untuk menyembah kepada-Nya, dan itulah agama yang lurus”.

د - جزاء التوحيد : ثواب الموحدين من الرفعة في الدنياً والتمكين والبركة في الحياة، والأمن، والعزة، ودخول الجنة، والنصر على الأعداء، وعقوبة المشركين والكافرين والمنافقين من الهوان في الدنيا والضنق في الحياة والعذاب الدائم في الآخرة .

D : Balasan yang didapat dari bertauhid yang berupa pahala buat ahli tauhid dari ketinggian didunia, stabilitas kedudukan, keberkahan hidup, keamanan, kejayaan, masuk sorga, dan kemenangan terhadap musuh. juga hukuman terhadap orang musyrikin, kafirin dan munafiqin dari kehinaan didunia, kesempitan dalam kehidupan dan adzab yang kekal di akherat.

هـ - مواصفات الموحدين : من التواضع للحق، حسن الخلق، الاستعداد للتضحيات، الوفاء بعهد الله والناس، الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، ودعوة الناس للخير .

E : Kriteria muwahhidin (ahli tauhid) seperti tawadhu’ terhadap kebenaran, akhlaq yang baik, kesiapan untuk berkorban, setia dengan janji, amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta mengajak manusia kepada kebaikan.

و - المفاهيم المعينة على الاستقامة من بيان حقيقة الدنيا وأنها متاع الغرور، ومحدودية عمر الإنسان، وصعوبة سكرات الموت .

F : Pemahaman-pemahaman
yang membantu ahli tauhid untuk bisa istiqamah dalam iman seperti keterangan akan hakekat dunia dan bahwasanya dia itu kesenangan yang menipu, dan bahwa umur manusia itu sangat terbatas dan menghadapi sakaratul maut adalah sebuah kesulitan yang akan dihadapi oleh setiap manusia.

Terakhir sebagai penutup, itulah sifat dan interaksi para sahabat terhadap Al Qur’an dan semoga kita bisa mencontoh mereka, mereka telah bersusah payah untuk kebahagiaan kita, rasa lelah sudah hilang, mereka telah bahagia untuk selama-lamanya dan didunia sejak zaman mereka sampai hari qiamat selalu dikenang dan didoakan oleh orang yang datang setelah mereka, alangkah bahagianya mereka.

اللهم إنا نسألك بعزتك التى لا ترام وبملكك الذى لا يضام وبنورك الذى ملاء أركان عرشك أت تملأ قلوبنا بالإيمان وأن تهدى قلوبنا للإسلام وأن تجعلنا ممن يحبك ويحب دينك أكثر من محبته لنفسه، وأن ترينا الحق حقاً وأن ترزقنا اتباعه وأن ترينا الباطل باطلاً وأن ترزقنا اجتنابه إنك سميع الدعاء وصل اللهم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين .


oleh: Muh.Mu’inudinillah Basri, MA

Sumber Artikel : iloveAllaah Indonesian Site

Wednesday, April 27, 2011

Rahasia Alam Kubur

Abu Muawiah

Dari Anas radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ فَيُقَالُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنْ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
“Jika hamba sudah diletakkan di dalam kuburnya dan teman-temannya sudah pergi meninggalkannya, hingga dia (jenazah) mendengar suara langkah sandal-sandal mereka, maka akan datang kepadanya dua malaikat. Keduanya lalu mendudukkannya seraya berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang laki-laki ini, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?” Maka jenazah itu menjawab, “Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya”. Maka dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempat dudukmu di neraka yang Allah telah menggantinya dengan tempat duduk di surga”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selanjutnya bersabda, “Maka dia kemudian melihat keduanya”. Adapun (jenazah) orang kafir atau munafik, maka dia akan menjawab, “Aku tidak tahu, aku hanya berkata mengikuti apa yang dikatakan kebanyakan orang.” Maka dikatakan kepadanya, “Kamu tidak mengetahuinya dan tidak mengikuti orang yang mengerti”. Kemudian dia dipukul dengan palu godam besar yang terbuat dari besi dengan sekali pukulan di antara kedua telinganya, maka dia mengeluarkan suara teriakan yang dapat didengar oleh yang ada di sekitarnya kecuali oleh dua makhluk (jin dan manusia).”
(HR. Al-Bukhari no. 1338)


Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Jika seorang dari kalian meninggal dunia maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya (di akhirat) setiap pagi dan petang hari. Jika dia termasuk penduduk surga, maka dia akan (melihat tempat duduknya) sebagai penduduk surga. Dan jika dia termasuk penduduk neraka, maka akan (melihat tempat duduknya) sebagai penduduk neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Inilah tempat dudukmu hingga nanti Allah membangkitkanmu pada hari kiamat”.
(HR. Al-Bukhari no. 1290 dan Muslim no. 2866)

Penjelasan ringkas:
Ketika jenazah telah dikuburkan dan para pengantarnya sudah pulang meninggalkannya, maka rohnya akan dikembalikan ke tubuhnya sehingga dia bisa hidup tapi dengan kehidupan barzakhiah. Setelah itu dia akan didatangi oleh dua malaikat yang bernama Munkar dan Nakir. Kedua malaikat ini lalu mendudukkan dia dan bertanya kepadanya tentang Allah, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan agama Islam.

Jika dia adalah orang yang beriman maka Allah akan memberikan hidayah dan kekuatan kepadanya untuk menjawabnya sehingga dia akan mendapatkan kenikmatan kubur, yang di antaranya berupa diperlihatkannya tempat kembali dia kelak di dalam surga. Tapi jika dia adalah orang kafir atau munafik, maka Allah Ta’ala akan menyesatkannya sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan kedua malaikat sehingga dia mendapatkan siksaan kubur.

Di antara bentuk siksaan-Nya adalah dia akan dipukul dengan palu besar di antara kedua telinganya yang membuatnya berteriak dengan teriakan yang sangat keras karena kesakitan, kemudian setelah itu dia akan diperlihatkan tempat kembalinya kelak di dalam neraka.

Beberapa pelajaran aqidah dari kedua hadits di atas:
1. Adanya nikmat dan siksa kubur serta bantahan kepada siapa saja yang mengingkari adanya.
2. Jenazah yang sudah dikubur pada dasarnya tidak bisa mendengar apa-apa dari orang yang masih hidup kecuali yang dikecualikan oleh dalil, seperti suara langkah sandal para pengantarnya yang pulang.
3. Penetapan adanya dua malaikat kubur, Munkar dan Nakir.
4. Larangan ikut-ikutan dan taqlid buta dalam beragama, karena dia adalah salah satu sebab seorang tidak bisa menjawab pertanyaan malaikat di kubur.
5. Siksaan kubur dijatuhkan kepada roh dan jasad mengikutinya. Karena dalam hadits di atas disebutkan ‘di antara kedua telinganya’.
6. Surga dan neraka sudah ada sekarang, serta sanggahan kepada siapa saja yang mengatakan bahwa keduanya nanti tercipta setelah hari kiamat.

Sumber Artikel : Al-Atsariyyah.Com

Saturday, April 23, 2011

Membongkar Kedok Dukun Berlabel Ustadz/Kyiai



Ada cukup banyak cara dan sangat bervariatif, yang semuanya mengandung kesyirikan atau kekufuran nyata. Dan Insya Allah, kami akan menyebutkan sebagian di antaranya, yakni delapan cara yang disertai dengan jenis kesyirikan atau kekufuran yang terkandung pada setiap cara tersebut secara ringkas. Hal ini sengaja kami kemukakan, karena sebagian kaum muslimin banyak yang tidak bisa membedakan antara penyembuhan secara Qurani dengan penyembuhan secara sihir. Yang pertama adalah cara imani ( keimanan ) dan yang kedua cara syaithani ( atas petunjuk syaitan ).



Dan masalahnya akan semakin kabur bagi orang-orang tidak berilmu, di mana tukang sihir itu membacakan mantra dengan pelan sementara dia akan membaca ayat Al Qur’an dengan kencang dan terdengar oleh pasien sehingga pasien itu mengira bahwa orang itu mengobatinya dengan menggunakan ayat-ayat Al Qur’an, padahal kenyataannya tidak demikian. Sehingga si pasien itu akan menerima perintah tukang sihir sepenuhnya.

Dan tujuan dari penyampaian dan penjelasan cara ini adalah untuk memperingatkan kaum muslimin agar mereka berhati-hati terhadap berbagai jalan kejahatan dan kesesatan, dan agar tampak jelas jalan orang-orang yang berbuat kejahatan.

1. Cara iqsam (bersumpah atas nama jin dan syaitan)
2. Cara adz-dzabh, yaitu dengan cara menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada jin dan syaitan.
3. Cara sufliyah, yaitu menempelkan ayat-ayat Al Qur’an atau hadits di bagian bawah kaki.
4. Cara najasah, yaitu menulis ayat-ayat Al Qur’an dengan benda yang najis.
5. Cara tankis, yaitu dengan cara berkomunikasi dengan bintang –bintang.
6. Cara al-kaff, yaitu melihat melalui telapak tangan.
7. Cara al-atsar, yaitu dengan menggunakan benda bekas dipakai.


Beberapa Tanda yang Dapat Dijadikan Barometer untuk Mengenali Tukang Sihir

Jika anda mendapatkan satu tanda dari tanda-tanda berikut ini pada orang-orang yang melakukan pengobatan, maka tidak diragukan lagi dia adalah seorang tukang sihir. Berikut ini tanda-tanda tersebut :

1. Menanyakan nama si pasien dan nama ibunya.

2. Meminta salah satu dari beberapa benda bekas dipakai si pasien ( baik itu baju, topi, sapu tangan, atau kaos ).

3. Terkadang meminta hewan dengan kriteria tertentu untuk disembelih dengan tidak menyebut nama Allah padanya, dan terkadang darah binatang sembelihan itu dioleskan pada beberapa tempat penyakit yang dirasakan oleh pasien atau melempar binatang itu ke tempat puing-puing bangunan.

4. Penulisan mantra-mantra tertentu.

5. Membaca jimat-jimat dan mantra-mantra yang tidak dapat dipahami.

6. Memberi suatu pembatas yang terdiri dari empat persegi kepada pasien, yang di dalamnya terdapat huruf-huruf atau angka-angka.

7. Dia menyuruh pasien untuk mengurung diri dari orang-orang untuk waktu tertentu di suatu ruangan yang tidak dimasuki sinar matahari, yang kaum awam menyebutnya dengan hijbah.

8. Terkadang si penyihir itu menyuruh pasien untuk tidak menyentuh air untuk waktu tertentu, yang paling sering selama empat puluh hari. Dan tanda itu menunjukkan bahwa jin yang melayaninya adalah beragama Nasrani.

9. Memberi beberapa hal kepada pasien untuk ditimbun di dalam tanah.

10. Memberi pasien beberapa kertas untuk dibakar dan mengeluarkan asap.

11. Berkomat-kamit dengan kata-kata yang tidak dapat dipahami.

12. Terkadang si penyihir memberitahu pasien nama dan kampung halaman pasien tersebut serta permasalahan yang akan dikemukakannya.

13. Si penyihir juga menuliskan untuk pasien beberapa huruf terputus-putus di sebuah kertas ( jimat ) atau di lempengan tembikar putih, lalu menyuruh pasien melarutkan dan meminumnya.


Jika anda megetahui bahwa seseorang adalah tukang sihir, maka hindarilah dan janganlah Anda mendatanginya, dan jika tidak, maka Anda termasuk dalam sabda Nabi: “Barangsiapa mendatangi seorang dukun, lalu dia membenarkan apa yang dikatakannya, berarti dia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.’’
( diriwayatkan oleh Al Bazzar, dengan beberapa penguatnya, hadits ini hasan dan diriwayatkan juga oleh Ahmad dan Al Hakim, dishahihkan oleh Al Albani : lihat Shahihul Jaami’ ( no. 5939 ). )


Sumber Artikel : Digital Islamic Library



Monday, April 18, 2011

Menjemput Bahagia Dengan Takwa


Takwa, singkat namun sarat makna. Betapa sering para khatib menyerukan kepada jama’ah sholat Jum’at setiap pekannya untuk melakukannya. Takwa, tak hanya mengingatkan kita tentang apa yang seharusnya kita tinggalkan demi mengharapkan ridha-Nya dan karena takut hukuman-Nya. Namun takwa juga mengingatkan kita akan kehidupan yang akan dialami manusia setelah kematiannya. Kehidupan yang penuh tanda tanya. Sebab saat ini tidak ada di antara kita yang bisa memastikan akan kemanakah dirinya; ke surga ataukah ke neraka? Sebuah pertanyaan besar yang tersimpan jawabnya di dalam suratan takdir di sisi-Nya.



Saudaraku, menentukan jalan hidup adalah perkara besar yang membuat banyak orang kelimpungan dan tak tahu harus ke mana dia melangkah. Padahal, ilham kepada jiwa tak lepas dari dua pilihan fujur (dosa) atau takwa.

Sebagaimana yang Allah ta’ala nyatakan dalam ayat,

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefajiran dan ketakwaannya.”
(QS. asy-Syams [91] : 8).

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menerangkan bahwa makna ayat ini; Allah menjelaskan kepada jiwa kebaikan dan keburukan. Tafsiran serupa juga disebutkan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dhahak dan ats-Tsauri. Sedangkan Sa’id bin Jubair mengatakan, “Artinya Allah mengilhamkan kepadanya kebaikan dan keburukan.”
(Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 8/321).

Orang yang beruntung bukanlah yang melepaskan kendali dirinya dan menuruti bisikan hawa nafsu. Akan tetapi sosok yang akan menjadi pemenang adalah yang berjuang membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran dosa.

Allah ta’ala berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
(QS. asy-Syams [91] : 9-10).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksud ayat di atas adalah keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang membersihkan dirinya dari dosa-dosa dan menyucikannya dari berbagai perbuatan tercela serta melembutkannya dengan taat kepada Allah, mengangkatnya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih
(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 926).

Maka untuk memiliki jiwa yang tangguh dan bertahan di atas jalur takwa seorang manusia harus meminta keteguhan dan taufik serta pertolongan Rabbnya.

Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah untaian doa yang indah,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَالْهَرَمِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, sifat pengecut dan pelit, pikun dan siksa kubur. Ya Allah, karuniakanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah ia sebab Engkaulah satu-satunya yang bisa menyucikannya. Engkaulah penolong dan tuhannya. Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”
(HR. Muslim dalam kitab adz-Dzikr wa Du’a wal Istiqghfar wa Taubah, hadits no. 2722).

Sesungguhnya ketakwaan telah menjadi barang mahal di jaman ini. Lebih mahal dari air di padang pasir yang tandus dan tetesan hujan di musim kemarau. Padahal, seperti yang sudah kita mengerti bersama bahwa kelompok yang beruntung adalah orang-orang yang bertakwa.

Allah ta’ala berfirman tentang keindahan dan manisnya buah takwa dalam ayat,

الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib dan mendirikan shalat serta membelanjakan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap wahyu yang diturunkan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu serta meyakini hari akhirat. Mereka itulah orang-orang yang berada di atas petunjuk Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
QS. al-Baqarah [2] : 1-5).

Jadi orang yang beruntung hanyalah orang yang bertakwa.

Kondisi jaman memang berbeda-beda. Namun perilaku dan kecenderungan manusia seolah-olah tak pernah berubah dari masa ke masa. Kebanyakan orang menyukai hal-hal yang bersifat sementara dan menghibur sesaat. Meskipun pada ujungnya hal itu menyebabkan penyesalan dan rasa sedih yang mendalam. Sejarah telah mencatat bagaimana umat-umat terdahulu binasa dan berhak menerima siksa akibat kedurhakaan mereka. Mereka menginginkan kesenangan yang sementara (dunia) dan nekad mengorbankan kesenangan yang abadi (surga), aduhai alangkah zuhudnya mereka…! Sebagaimana tololnya orang-orang munafik yang menjual akhirat dan agamanya dengan harga yang teramat murah. Allah ta’ala berfirman setelah menceritakan beberapa karakter mereka yang tercela,

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ

“Mereka itulah orang-orang yang rela membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka tidaklah beruntung perdagangan mereka itu, dan mereka juga tidak memperoleh petunjuk.” (QS. al-Baqarah [2] : 16).

Oleh sebab itulah kita dapati generasi terbaik umat ini -yaitu para sahabat- memendam perasaan khawatir yang sangat besar apabila mereka terjangkiti kemunafikan. Imam Bukhari meriwayatkan ucapan Ibnu Abi Mulaikah di dalam kitabul Iman, “Aku berjumpa dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua khawatir dirinya terjangkit kemunafikan.” Hal itu tidak lain dikarenakan kemunafikan akan meludeskan perdagangan mereka, menghanguskan harapan indah mereka, dan melenyapkan kebahagiaan yang selama ini mereka idam-idamkan.

Kemunafikan adalah gambaran terjelek dari orang yang mengaku bertakwa. Berbeda dengan orang kafir yang berterus terang mengibarkan bendera permusuhan terhadap umat Islam dengan lisan dan sepak terjangnya, orang-orang munafik secara lahir menampakkan persahabatan bahkan pembelaan kepada umat Islam namun pada hakikatnya mereka berusaha menghancurkan Islam dari dalam.

Maka sangatlah pantas jika Allah menggelari kaum munafikin sebagai pendusta.
Allah ta’ala berfirman,

الم أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan mengucapkan kami telah beriman kemudian mereka tidak lagi mendapatkan ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang dusta.”
(QS. al-Ankabut [29] : 1-3).

Kemudian Allah ta’ala ceritakan sebagian sifat mereka,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ فَإِذَا أُوذِيَ فِي اللَّهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللَّهِ وَلَئِنْ جَاءَ نَصْرٌ مِنْ رَبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِمَا فِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ وَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْمُنَافِقِينَ

“Di antara manusia ada yang mengatakan kami beriman kepada Allah, namun apabila dia diberi cobaan di jalan Allah maka dia menganggap gangguan manusia seperti layaknya azab Allah. Dan apabila datang pertolongan dari Rabbmu, maka dia pun mengatakan, ‘Sesungguhnya kami bersama kalian’. Apakah Allah tidak mengetahui apa yang tersimpan di dalam dada manusia? Dan supaya Allah mengetahui siapakah orang-orang yang beriman dan siapakah sebenarnya orang-orang munafik itu.”
(QS. al-Ankabut [29] : 10-11).

Mengapa pengakuan iman di lisan mereka tidak bisa meneguhkan iman yang ada di dalam hati mereka? Jawabnya, karena ketidaksabaran mereka dalam menghadapi cobaan dan musibah yang menimpa. Padahal tanpa sabar iman tak akan terjaga. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sabar bagi iman sebagaimana peran kepala bagi tubuh. Orang yang tidak punya sabar maka tidak ada iman padanya.”
(Diriwayatkan oleh al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah).

Oleh sebab itulah kita dapatkan di dalam al-Qur’an Allah ta’ala mengiringkan antara sabar dengan ketakwaan. Allah ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا

“Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan membahayakanmu.”
(QS. Ali ‘Imran [3] : 120).

Sabar membutuhkan bahan bakar. Sementara bahan bakarnya tidak lain adalah ilmu, iman, tawakal, keikhlasan, mahabbah, khauf dan raja’. Oleh sebab itu Thalq bin Habib rahimahullah memberikan definisi yang sangat dalam tentang makna takwa. Beliau mengatakan, “Takwa adalah kamu beramal melakukan ketaatan kepada Allah di atas bimbingan cahaya dari Allah dengan mengharap balasan Allah. Dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas bimbingan cahaya Allah karena takut hukuman Allah.”
(Disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam Risalah Tabukiyah)

Marilah kita memohon kepada Allah petunjuk, ketakwaan, terjaganya kehormatan, dan kecukupan hati. Karena sesungguhnya Allah yang telah membentangkan jalan yang lurus ini untuk hamba-hamba-Nya dan Allah pula lah yang menuntun mereka berjalan di atasnya. Tiada daya dan kekuatan bagi kita kecuali dengan pertolongan dari-Nya. Kepada-Nya lah kita kembali dan kepada-Nya kita meminta pertolongan. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber Artikel : DAKWAH TAUHID

Thursday, April 14, 2011

Cahaya Itu Akhirnya Dilahirkan


Sebuah tangis bayi yang baru lahir terdengar dari sebuah rumah di kampung Bani Hasyim di Makkah pada 12 Rabiul Awwal pada tahun masehi yang ke 571. Bayi itu lahir dari rahim Aminah dan langsung dibopong seorang "bidan" yang bernama Syaffa', ibunda sahabat Abdurrahman bin Auf.


"Bayimu laki-laki!" Aminah tersenyum lega. Tetapi seketika ia teringat kepada mendiang suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib, yang telah meninggal enam bulan sebelumnya. Ya, bayi yang kemudian oleh kakeknya diberi nama Muhammad (Yang Terpuji) itu lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal di Yatsrib ketika beliau berusia dua bulan dalam kandungan ibundanya. Kelahiran yang yatim ini dituturkan dalam Al-Quran, "Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?"
-QS Adh-Dhuha (93): 6.

Aminah, janda beranak satu itu, hidup miskin. Suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah dan seorang budak, Barakah Al-Habsyiyah (Ummu Aiman). Sementara sudah menjadi kebiasaan bangsawan Arab waktu itu, bayi yang dilahirkan disusukan kepada wanita lain. Khususnya kepada wanita dusun, supaya hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku. Ada hadits yang mengatakan, kebakuan bahasa warga Arab yang dusun lebih terjaga.

Menunggu jasa wanita yang menyusui, Aminah menyusui sendiri Muhammad kecil selama tiga hari. Lalu dilanjutkan oleh Tsuwaibah, budak Abu Lahab, paman Nabi Muhammad, yang langsung dimerdekakan karena menyampaikan kabar gembira atas kelahiran Nabi, sebagai ungkapan rasa senang Abu Lahab.

Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, datang pasukan bergajah dari Negeri Yaman yang dipimpin oleh Abrahah, ingin menghancurkan ka'bah, sehingga tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dinamakan tahun Gajah. Ketika pasukan gajah memasuki kota Mekkah, dipertengahan jalan mereka diserang oleh rombongan burung Ababil yang diutus Allah SWT, masing-masing burung membawa tiga batu, satu batu diparuhnya dan dua batu dikakinya, kemudian batu itu dijatuhkan kepasukan Abrahah, hancurlah pasukan Abrahah, dan selamatlah ka”bah dari kehancuan atas pertolongan Allah SWT.

Ada beberapa kejadian luar biasa yang mengiringi kelahiran beliau. Pada malam ketika beliau dilahirkan, istana Kisra bergetar hebat dan empat belas balkon istananya runtuh, dan api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi tiba-tiba padam, padahal selama ribuan tahun api itu tidak pernah padam. Selain itu, beberapa gereja di sekitar Buhairah runtuh dan ambles ke tanah.

Kejadian luar biasa juga terjadi saat Aminah mengandung Muhammad SAW. Aminah sama sekali tidak merasakan sakit sebagaimana yang dirasakan oleh wanita pada umumnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwasanya Aminah berkata, “Aku tidak merasakan diriku sedang mengandung dan tidak merasa kelelahan seperti yang dialami oleh kebanyakan wanita. Hanya saja aku merasa aneh ketika darah haidku terhenti. Malaikat datang kepadaku, waktu itu aku dalam keadaan antara tidur dan sadar.

Ia berkata, “Apakah engkau merasa sedang hamil?”

Rasanya aku berkata kepadanya, “Aku tidak tahu.”

“Sesungguhnya engkau telah mengandung Sayyid (Pemimpin) dan Nabi ummat ini,” kata malaikat itu.

Tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW, Aminah menceritakan bahwa ia melihat cahaya yang menerangi istana-istana Syam sehingga ia dapat melihat semua istana itu. Aminah bercerita, “Ketika aku melahirkannya, ia berlutut dengan kedua lututnya, memandang ke arah langit kemudian menggenggam segenggam tanah, lalu sujud. Ia dilahirkan dalam keadaan telah terpotong tali pusarnya. Aku lihat ia menghisap ibu jarinya yang mengalirkan air susu.”

Beberapa hari kemudian, datanglah kafilah dari dusun Bani Sa”ad, dusun yang jauh dari kota Makkah. Mereka menaiki unta dan keledai. Di antara mereka ada sepasang suami-istri, Harits bin Abdul “Uzza dan Halimah As-Sa”diyah. Harits menaiki unta betina tua renta dan Halimah menaiki keledai yang kurus kering. Keduanya sudah memacu kendaraannya melaju, tetapi tetap saja tertinggal dari teman-temannya.

Halimah dan wanita lainnya yang datang ke Makkah sedang mencari kerja memberi jasa menyusui bayi bangsawan Arab yang kaya. Sebagaimana dalam kehidupan modern, baby sitter akan mendapatkan bayaran yang tinggi bila dapat mengasuh bayi dari keluarga kaya. Sampai di kota Makkah, Halimah menjadi cemas, sebab beberapa wanita Bani Sa'ad yang tiba lebih dulu sedang ancang-ancang mudik karena sudah berhasil membawa bayi asuh mereka.

Setelah ia ke sana-kemari, akhirnya ada juga seorang ibu, yaitu Aminah, yang menawarkan bayinya untuk disusui. Namun ketika mengetahui keadaan ibu muda yang miskin itu, Halimah langsung menampik. Dia dan suaminya berkeliling kota Makkah, tetapi tidak ada satu pun ibu yang menyerahkan bayinya kepadanya untuk disusui. Ya, bagaimana mereka percaya, seorang ibu kurus yang naik keledai kurus pula akan mengasuh dengan baik bayi mereka? Hampir saja Halimah putus asa, ditambah lagi suaminya sudah mengajaknya pulang meski tidak membawa bayi asuh.

Namun, ia berkata kepada suaminya, "Aku tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Alangkah baiknya kalau kita mau mengambil anak yatim itu sambil berniat menolong."

"Baiklah, kita bawa saja anak yatim itu, semoga Allah memberkahi kehidupan kita," ujar suaminya.

Setelah ada kesepakatan tentang harga upah menyusui, Muhammad kecil diberikan kepada Halimah. Wanita kurus kering itu pun mencoba memberikan puting susunya kepada bayi mungil tersebut. Dan Subhanallah! Kantung susunya membesar, dan kemudian air susu mengalir deras, sehingga sang bayi mengisapnya hingga kenyang. Dia heran, selama ini susunya sendiri sering kurang untuk diberikan kepada bayi kandungnya sendiri, tetapi sekarang kok justru berlimpah, sehingga cukup untuk diberikan kepada bayi kandung dan bayi asuhnya?

Berbarengan dengan keanehan yang dialami Halimah, suaminya juga dibuat heran, tak habis pikir, mengapa unta betina tua renta itu pun tiba-tiba kantung susunya membesar, penuh air susu. Halimah turun dari keledainya, dan terus memerah susu itu. Dia dan suaminya sudah dalam keadaan lapar dan dahaga. Mereka meminumnya sehingga kenyang dan puas. Semua keajaiban itu membuat mereka yakin bahwa anak yatim ini benar-benar membawa berkah yang tak terduga.

Halimah menaiki dan memacu keledainya. Ajaibnya, Keledai itu berhasil menyalip kendaraan temannya yang mudik lebih dulu.

"Halimah, Alangkah gesit keledaimu. Bagaimana ia mampu melewati gurun pasir dengan cepat sekali, sedangkan waktu berangkat ke Makkah ia amat lamban," temannya berseru.

Halimah sendiri bingung, dan tidak bisa memberikan jawaban kepada teman-temannya.

Sampai di rumah pun, anak-anaknya senang, sebab orangtua mereka pulang lebih awal dari orang sekampungnya. Apalagi kemudian ayah mereka membawa air susu cukup banyak, yang tiada lain air susu unta tua renta yang kurus kering itu. Dalam sekejap, kehidupan rumah tangga Halimah berubah total. Dan itu menjadi buah bibir di kampungnya. Mereka melihat, keluarga yang tadinya miskin tersebut hidup penuh kedamaian, kegembiraan, dan serba kecukupan. Domba-domba yang mereka pelihara menjadi gemuk dan semakin banyak air susunya, walaupun rumput di daerah mereka tetap gersang. Keajaiban lagi!

Peternakan domba milik Halimah berkembang pesat, sementara domba-domba milik tetangga mereka tetap saja kurus kering. Padahal rumput yang dimakan sama. Karena itulah, mereka menyuruh anak-anak menggembalakan domba-domba mereka di dekat domba-domba milik Halimah. Namun, hasilnya tetap saja sama, domba para tetangga itu tetap kurus kering.

Muhammad kecil disusui Halimah sekitar dua tahun. Oleh Halimah, bayi itu dikembalikan kepada ibunya, Aminah. Namun, ibunya mengharapkan agar Muhammad tetap ikut dirinya, sebab ia khawatir bayi yang sehat dan montok tersebut menjadi terganggu kesehatannya jika hidup di Makkah, yang kering dan kotor. Maka Muhammad kecil pun dibawa kembali oleh Halimah ke dusun Bani Sa'ad.

Bayi itu menjadi balita, dan telah mampu mengikuti saudara-saudaranya menggembala domba. Ingat, hampir semua nabi pernah menjadi penggembaIa. Muhammad saat itu sudah berusia empat tahun dan dapat berlari-lari lepas di padang rumput gurun pasir. la, bersama Abdullah, anak kandung Halimah, menggembala domba-domba mereka agak jauh dari rumah.

Di siang hari yang terik itu, tiba-tiba datanglah dua orang lelaki berpakaian putih. Mereka membawa Muhammad, yang sedang sendirian, ke tempat yang agak jauh dari tempat penggembalaan. Abdullah pada waktu itu sedang pulang, mengambil bekal untuk dimakan bersama-sama dengan Muhammad, di tempat menggembala, karena mereka lupa membawa bekal. Ketika Abdullah kembali, Muhammad sudah tidak ada. Seketika itu juga ia menangis dan berteriak-teriak minta tolong sambil berlari pulang ke rumahnya. Halimah dan suaminya pun segera keluar dari rumahnya. Dengan tergopohgopoh mereka mencari Muhammad ke sana-kemari. Beberapa saat kemudian, mereka mendapatinya sedang duduk termenung seorang diri di pinggir dusun tersebut.

Halimah langsung bertanya kepada Muhammad, "Mengapa engkau sampai berada di sini seorang diri?"

Muhammad pun bercerita. "Mula-mula ada dua orang lelaki berpakaian serba putih datang mendekatiku.

Salah seorang berkata kepada kawannya, “Inilah anaknya.”

Kawannya menyahut, `Ya, inilah dia!”

“Sesudah itu, mereka membawaku ke sini. Di sini aku dibaringkan, dan salah seorang di antara mereka memegang tubuhku dengan kuatnya. Dadaku dibedahnya dengan pisau. Setelah itu, mereka mengambil suatu benda dari dalam dadaku dan benda itu lalu dibuang. Aku tidak tahu apakah benda itu dan ke mana mereka membuangnya. Setelah selesai, mereka pergi dengan segera. Aku pun tidak mengetahui ke mana mereka pergi, dan aku ditinggalkan di sini seorang diri”, ujar Muhammad.

Setelah kejadian itu, timbul kecemasan pada diri Halimah dan suaminya, kalau-kalau terjadi sesuatu terhadap si kecil Muhammad. Karena itulah, keduanya menyerahkan dia kembali kepada Ibunda Aminah.

Beliau adalah Pemimpin kita, Juru Penyelamat dan Pemberi syafa”at kita Sayyiduna Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka”ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin 'Adnan. Kemudian bersambung terus nasab mulia ini sampai Nabi Ismail bin Ibrahim 'alaihima as salam.Adapun nasab dari Jalur ibunda beliau yang mulia, yaitu Sayyiduna Muhammad bin Aminah Az Zuhriyyah binti Wahb bin Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah Dan seterusnya".

Pertemuan kedua nasab mulia itu adalah pada kakek Nabi yang bernama Kilab bin Murrah. Inilah Nasab yang paling mulia di seantero dunia ini secara mutlak. Nasab mulia tersebut dari Rasulullah sampai 'Adnan, itulah yang disepakati kebenarannya oleh umat ini dan sudah menjadi Ijma' Ulama. Adapun nasab Adnan sampai Nabi Ismail dan Nabi Ismail sampai Nabi Adam disana terdapat khilaf (perbedaan) antara Ulama.
Rasulullah SAW manakala beliau menyebut nasabnya, tidak sampai melampaui Ma'ad bin 'Adnan bin Udad. Kemudian beliau bersabda, "Sampai disinilah bohong para ahli nasab", yakni yang meneruskan nasab beliau sampai Nabi Adam. (HR. Ad Dailami dalam Musnad Al Firdaus dari Ibnu Abbas).

Sayyiduna Abdullah bin Abbas berkata, "Antara 'Adnan sampai Ismail (kurang lebih) 30 orang (keatas) namun nama-nama mereka tidak ketahui secara pasti". Sayyiduna Abdullah bin Zubair berkata, "Kami tidak mendapati ada seseorang yang mengetahui secara pasti setelah Ma'ad bin 'Adnan". Suatu saat Imam Malik ditanya tentang seseorang yang meneruskan nasab Rasulullah sampai Nabi Adam, beliau tidak senang dan berkata, "Siapakah yang memberitahukannya !?".

Al Imam Al Habib Ahmad bin Zein Al Habsyi dengan menukil dari sebagian ulama beliau mengatakan, "Nasab Rasulullah ini sangatlah mujarrab, apabila ditulis untuk suatu kepentingan dan di dalamnya terdapat huruf-huruf Al Ism Al A'dham. Para salaf senantiasa menghafalkannya dan berwasiat kepada anak-anaknya agar juga menghafalkannya".

Yang benar menurut apa yang telah ditahqiqkan oleh Ulama seperti Imam Fakruddin Ar Razi, Al Hafidz Ibnu Hajar Al 'Asqalani dan Al Hafidz As Suyuthi serta ulama lainnya, bahwa semua ayah-kakek Rasulullah SAW tidak ada seorangpun yang kafir. Demi menjaga kemuliaan maqam an Nubuwwah. Demikian pula seluruh ibu-nenek Rasulullah SAW. Adapun yang banyak diperbincangkan mengenai Aazar , menurut ahli sejarah dia adalah paman Nabi Ibrahim bukan ayah kandungnya.

Demikian pendapat Al Hafidz As Suyuthi, Syihabuddin Ibnu Hajar dan ulama lainnya. Dan sudah maklum bahwa bangsa Arab menyebut paman dengan “ayah”. Para sejarawan panjang lebar membahas hal itu. Al Imam Al 'Allamah Ali bin Burhanuddin Al Halabi dalam As Sirah Al Halabiyyah mengatakan, "Ahlu kitab telah bersepakat bahwa Aazar adalah paman Nabi Ibrahim, Orang Arab biasa menyebut paman dengan “ayah” sebagaimana menyebut Khalah (bibi) dengan “ibu”.


Dinukil dari : Al Habib Sholeh bin Ahmad bin Salim Al Aydrus

Sumber Artikel : Maulid Dan Sholawat

Sunday, April 10, 2011

Syarat Diterimanya Ibadah

Sesungguhnya kemuliaan manusia dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah pada kemanusiaan itu sendiri, melainkan karena ibadahnya kapada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karenanya orang-orang kafir tidak ada kemuliaan mereka sedikit pun dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan merekalah makhluk yang paling hina dan paling rendah.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrikin (lainnya) (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.”
(Al-Bayyinah: 6)


Juga firman Allah Ta’ala:

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا

“Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).”
(Al-Furqon: 44)

Sebaliknya, orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka adalah makhluk terbaik dalam pandangan Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh mereka itulah sebaik-baik makhluk.”
(Al-Bayyinah: 7)

Maka memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata dan menjauhi segala bentuk perbuatan syirik adalah perkara yang paling penting dalam kehidupan seorang hamba.

Namun yang juga tak kalah penting untuk dipahami adalah makna ibadah itu sendiri serta syarat diterimanya ibadah, karena tidaklah sembarang ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Makna Ibadah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan makna ibadah adalah,

اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة

“Satu nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridhoi Allah Ta’ala, baik itu perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).”
(Al-‘Ubudiyyyah, hal. 44)

Kemudian beliau mencontohkan amalan-amalan lahir seperti, “Sholat, zakat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad terhadap orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir, budak, baik manusia maupun hewan, berdo’a, dzikir, membaca al-Qur’an dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah”.

Dan amalan-amalan batin seperti, “Cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, senantiasa kembali (taubat) kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, sabar dengan hukum-Nya, bersyukur dengan nikmat-nikmat-Nya, ridho dengan ketetapan-Nya, bertawakkal kepada-Nya, berharap rahmat-Nya, takut dari adzab-Nya dan yang semisalnya adalah termasuk ibadah kepada Allah Ta’ala”.

Jadi, makna ibadah dalam Islam mencakup seluruh bentuk kebaikan yang harus diamalkan oleh manusia pada semua sisi kehidupannya.

Syarat Diterimanya Ibadah

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan dalam firman-Nya:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا

“(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya.”
(Al-Mulk: 2)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan makhluk-makhluk dari sesuatu yang tadinya tidak ada (kemudian menjadi ada) untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 8/176)

Al-Imam Abu ‘Ali Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan paling benar”. Orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali apakah yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar?” Beliau menjelaskan, “Sesungguhnya amalan jika telah ikhlas tetapi tidak benar maka tidak diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikian sebaliknya, jika amalan tersebut telah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sampai menjadi ikhlas dan benar. Sedangkan yang dimaksud dengan amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang dimaksud dengan amalan yang benar adalah jika dilakukan sesuai Sunnah (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).”
(Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 451-452)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya.”
(Al-Kahfi: 110)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan makna, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya, yaitu pahala dan balasannya yang baik. Maka hendaklah dia beramal shalih, yaitu amalan yang sesuai syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Robbnya, yaitu hendaklah (ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja tiada sekutu bagi-Nya. Dua hal ini (amal sesuai syari’at dan ikhlas) merupakan dua rukun amal yang diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai syari’at Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 5/205)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Keduanya merupakan dua pokok terkumpulnya agama, yaitu kita tidak boleh beribadah kecuali kepada Allah Ta’ala dan kita beribadah kepada-Nya dengan apa yang disyari’atkan oleh-Nya, tidak dengan bid’ah-bid’ah.”
(Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, hal. 451)

Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa syarat diterimanya ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah:

Pertama: Ikhlas, yaitu beribadah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kedua: Mutaba’ah, yaitu mengikuti sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Kedua syarat ini sesungguhnya merupakan pokok keislaman, yaitu makna dan konsekuensi dua kalimat syahadat; Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah. Karena syahadat Laa ilaaha illallah menuntut kita untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hanya karena-Nya pula, sedang syahadat Muhammadur Rasulullah menuntut kita untuk meneladani beliau shallallahu’alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah. Itulah sebabnya kenapa dua kalimat ini meski terdiri dari dua bagian tetapi dijadikan dalam satu rukun; karena kedua syarat tersebut tidak boleh terpisah satu dengan yang lainnya
(lihat Syarhu Ushulil Iman, karya Ays-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah).

Maka wajib bagi kita untuk beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah, serta menjauhi perkara-perkara yang dapat merusak kedua syarat tersebut.


Perusak Ikhlas

Perusak ikhlas adalah riya’ dan sum’ah, yaitu beramal bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi karena ingin dipertontonkan atau diperdengarkan kepada manusia. Demikian pula beramal karena dunia dapat merusak keikhlasan.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang (mendapatkan balasan) sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni mendapatkan balasan kebaikan sesuai niatnya), dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin dia raih, atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Amirul Mu’minin Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu)

Riya’ dalam beramal juga termasuk kategori syirik kecil yang perkaranya amat halus dan samar, sehingga seringkali merusak amalan seseorang tanpa disadarinya. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sangat khawatir penyakit riya’ ini akan menimpa manusia-manusia terbaik di zaman beliau, yakni para sahabat radhiyallahu’anhum. Oleh karena itu, kita lebih lebih layak untuk takut dari penyakit riya’ ini.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر قالوا وما الشرك الأصغر يا رسول الله قال الرياء يقول الله عز و جل لهم يوم القيامة إذا جزى الناس بأعمالهم اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون عندهم جزاء

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil”, para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik kecil itu) riya’, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat kepada mereka (orang-orang yang riya’ dalam beramal), yaitu ketika Allah Ta’ala telah membalas amal-amal manusia, (maka Allah katakan kepada mereka), “Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan (riya’) amalan-amalan kalian ketika di dunia, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan (kebaikan) dari mereka?!”.”
(HR. Ahmad, no. 23680, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 32)

Betapa bahayanya perbuatan syirik kecil (riya’) ini, sehingga tidak ada tempat bagi kita untuk selamat darinya selain meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa menjaga niat kita.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengajarkan sebuah doa:

اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا أعلم

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu yang aku ketahui dan aku memohon ampun kepadamu (dari menyukutukan-Mu) yang tidak aku ketahui.”
(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, no. 716, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohih Al-Adabil Mufrad, no. 266)


Perusak Mutaba’ah adalah Bid’ah

Adapun perusak mutaba’ah adalah perbuatan bid’ah dalam agama, yaitu mengada-adakan suatu perkara baru dalam agama (bukan dalam masalah dunia), atau mengamalkan sesuatu yang tidak berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Amalan bid’ah tertolak, tidak akan sampai kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan inilah sejelek-jelek perkara dan setiap bid’ah pasti sesat. Sebagaimana penjelasan Nabi yang mulia shallallahu’alaihi wa sallam dalam beberapa hadits berikut ini:

1. Hadits Aisyah radhyallahu’anha, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد

“Barangsiapa yang mengada-ngadakan perkara baru dalam agama kami ini apa-apa yang bukan daripadanya maka ia tertolak.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Hadits Aisyah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim, no. 4590)

3. Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma yang mengisahkan khutbah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shallallahu’alaihi wa sallam) dan seburuk-buruk urusan adalah perkara baru (dalam agama) dan semua perkara baru (dalam agama) itu sesat.”
(HR. Muslim, no. 2042)

4. Hadits Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah, karena sesungguhnya siapa pun diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak (dalam agama), maka wajib bagi kalian (menghindari perselisihan tersebut) dengan berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara baru (bid’ah dalam agama) karena setiap bid’ah itu sesat.”
(HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

Setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita bahwa semua perkara baru dalam agama yang tidak bersandar kepada dalil syar’i adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat, masihkah pantas bagi kita beramal hanya karena mengikuti seorang tokoh atau mengikuti kebanyakan orang!? Dan masihkah layak kita berpendapat ada bid’ah yang baik (hasanah)!?

Maka di sinilah pentingnya ilmu sebelum beribadah kepada Allah Ta’ala. Bahwa ibadah tidak boleh sekedar semangat, tetapi harus berlandaskan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh generasi awal ummat Islam.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.


Sumber Artikel : NasihatOnline

Thursday, April 7, 2011

ILMU YANG BERMANFAAT


Ilmu yang bermanfaat secara mutlak di dunia dan akhirat adalah ilmu syar’i. ilmu yang ahlinya dipuji oleh Allah dan Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallama, ilmu ini adalah seperti yang diungkapkan oleh Imam Asy-Syatiby di dalam kitab Al Muwafaqot, “Ilmu yang mu’tabar menurut syara’ adalah ilmu yang mendorong pemiliknya untuk beramal, yang tidak membiarkan pemiliknya berlari mengikuti hawa nafsunya bagaimanapun ia, bahkan ia mengikat pengikutnya dengan muqtadhonya, yang membawa pemiliknya mematuhi aturan-aturannya suka atau tidak suka”.


Di dalam mukadimah ke tujuh dari kitabnya tersebut ia menegaskan, “Sesungguhnya setiap ilmu yang tidak membuat pemiliknya beramal maka di dalam syara’ tidak ada dalil dalam syara’ yang menganggapnya baik”. Oleh karena itu ulama sejati adalah yang mengamalkan ilmunya dan tampak pada dirinya sifat takut kepada Allah Ta’ala.

{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء}

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(Fathir : 28)

Ilmu tidak akan bermanfaat tanpa disertai pengamalan. Allah Ta’ala berfirman menegur orang-orang yang tidak mengerjakan apa yang ia katakan atau ajarkan,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ * كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ}

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.
(Ash Shof : 2-3)

Allah Ta’ala juga mengingkari perbuatan orang-orang Ahli Kitab yang tidak mengamalkan kebaikan yang mereka perintahkan kepada manusia,

{أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ}

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”.
(Al Baqoroh : 44)

Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Usamah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu ia berkata,

“يؤتى بالرجل يوم القيامة فيلقى فى النار فتنتدلق اقتاب بطنه فيدور بها كما يدور الحمار فى الرحى، فيجتمع إليه أهل النار، فيقولون: يافلان، مالك؟ ألم تكن تأمر بالمعروف وتنهى عن المنكر؟ فيقول بلى، كنت أمر بالمعروف ولا آتيه وأنهى عن المنكر وأتيه”

“Aku mendengar Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Di hari kiamat didatangkan seseorang lalu dicampakkan ke dalam neraka maka terburailah usus-ususnya, dia berputar-putar dengan ususnya seperti seekor keledai berputar-putar pada ikatannya. Maka penghuni neraka mengerumuninya, mereka berkata, ‘Hai fulan, ada apa denganmu? Bukankah dulu engkau mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran?’ ia menjawab, ‘Benar, aku mengajak kepada kebaikan tetapi aku tidak mengerjakan dan aku melarang dari kemungkaran tetapi aku melakukannya”.
(HR. Bukhari : 6/238 dan Muslim : 2989)

Oleh karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama berdo’a kepada Allah memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat,

“اللهم أنى أعوذ بك من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع ، ومن دعاء لا يسمع”

‘Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak puas, dan dari do’a yang tidak didengar”.
(HR. Muslim : 1295, At-Tirmidzi dan An Nasai (8/263) dari hadits Zaid bin Arqom)

Sahabat Abu Darda’ rodhiyallahu ‘anhu berkata, “Yang aku takuti di hari kiamat adalah ketika dikatakan kepadaku, ‘Apakah engkau mengetahui atau tidak? Aku menjawab, ‘Aku mengetahui’. Maka tidak ada satupun ayat dari Kitabullah yang memerintahkan atau melarang melainkan mendatangiku menanyakan perintah dan larangannya. Ayat yang memerintahkan bertanya apakah engkau kerjakan? Dan ayat yang melarang bertanya apakah engkau tinggalkan? Maka Aku berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak puas, dan dari do’a yang tidak didengar”.
(diriwayatkan oleh Al Baihaqy, Ad Darimy dan Ibnu Abdil Barr dari beberapa jalan dari Abu Darda’).

Ya Allah .. berapa banyak orang yang mengingatkan manusia kepada Allah sementara dia sendiri lupa kepadaNya. Berapa banyak orang yang menakut-nakuti manusia dengan Allah ternyata dia lancing dan berani menentang Allah. Berapa banyak orang yang mengajak manusia mendekatkan diri kepada Allah, dia malah jauh dari Allah. Berapa banyak orang yang menyeru mengajak manusia kepada Allah sedangkan dia sendiri malah lari dari Allah dan berapa banyak orang yang membaca Kitabullah lalu dia melepaskan dirinya dari ayat-ayat Allah …

Sungguh, jika ilmu tidak memotivasi pemiliknya untuk menjalankan ibadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala maka tidak ada nilainya. Jika ilmu tidak membuat pemiliknya dekat kepada Allah tidak ada gunanya. Dan jika ilmu tidak mewariskan kepada pemiiknya al khosy-yah (takut) kepada Allah tidak ada kebaikan padanya.

Jadi ilmu yang mu’tabar secara syar’I itu adalah ilmu yang mendorong pemiliknya untuk beramal dengan segala perkara yang dapat mendekatkan dia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, berhenti dibatasan yang ditetapkan Allah.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta menjauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat .. amin.

Sumber Artikel : TELAGA HATI Online

Wednesday, April 6, 2011

10 Kerusakan Perayaan Tahun Baru yang Harus Anda Ketahui

Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah, Rabb yang memberikan hidayah demi hidayah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Semoga artikel yang singkat ini bisa menjawabnya.
Sejarah Tahun Baru Masehi

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.

Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
[Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru]

Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.

Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim merayakan tahun baru.

Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram

Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,

كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.’”
[HR. An-Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Namun, setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah perayaan tahun baru Masehi.

Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.

Perhatikan penjelasan Al-Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:

Al-Lajnah Ad-Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ‘ied terkumpul beberapa hal:

1. Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
2. Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
3. Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.

Hukum ‘ied (perayaan) terbagi menjadi dua:

1. Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau
2. Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Misalnya adalah peringatan maulid nabi, hari ibu dan hari kemerdekaan. Peringatan maulid nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan di samping menyerupai orang-orang Nasrani dan golongan orang kafir yang lain. Sedangkan hari ibu dan hari kemerdekaan terlarang karena menyerupai orang kafir.”
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al-Ifta’.] -Demikian penjelasan Lajnah-

Begitu pula perayaan tahun baru termasuk perayaan yang terlarang karena menyerupai perayaan orang kafir.

Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir

Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ

“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“
[HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.]

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”
[HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al-Khudri.]

An-Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”
[Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabiy, cetakan kedua, 1392.] (hasta) serta lubang

Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.

Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).

Beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidha‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil no. 1269.]

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).
[Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ Ash Shiratil Mustaqim, 1/363, Wazaratu Asy Syu-un Al-Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.]

Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru

Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyariatkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid.

Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.

Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”

Maka, cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,

وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ

“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Ibnu Mas’ud lantas berkata,

وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.”
[HR. Ad-Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).]

Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.

Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan Mengucapkan Selamat Tahun Baru

Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).

Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” [Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.]

Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat Lima Waktu

Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya.

Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.

Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.

Ibnul Qayyim -rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”
[Ash-Shalah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam Ahmad]

Adz-Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).”
[Al-Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”
[HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani. Lihat Misykatul Mashabih no. 574] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.

Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”
[HR. Muslim no. 1163]

Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh orang-orang shalih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu dengan waktu yang mustajab untuk berdoa yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.

Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat

Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”
[HR. Bukhari no. 568]

Ibnu Baththal menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjamaah. ‘Umar bin Al Khaththab sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”
[Syarh Al-Bukhari, Ibnu Baththal, 3/278, Asy Syamilah.] Apalagi dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!

Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina

Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan.

Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan suatu yang haram.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”
[HR. Muslim no. 6925]

Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin

Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit.

Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.” [HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41]

Ibnu Baththal mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.” [Syarh Al-Bukhari, Ibnu Baththal, 1/38, Asy Syamilah]

Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al-Hasan Al-Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!

Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan Melakukan Pemborosan

Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam?

Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat banyak jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau untuk menyelenggarakan pentas musik, dan sebagainya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.”
(Qs. Al Isro’: 26-27)

Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauh sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.

Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”
[Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada tafsir surat Al Isra’ ayat 26-27]

Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga

Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”
[HR. Tirmidzi. Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun, sebenarnya membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.

Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qayyim, “(Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
[Al-Fawa’id, hal. 33]

Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءكُمُ النَّذِيرُ

“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”
[Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6/553, pada tafsir surat Fathir ayat 37.]

Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya. Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang Allah berikan.

Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang muslim setiap kali bergulirnya waktu.

Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini. Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.”
(Qs. Hud: 88)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12 Muharram 1431 H

Fatwa Ulama Tentang Hukum Mengucapkan Selamat Tahun Baru

Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya,

“Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non-muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? ”

Al-Lajnah Ad-Daimah menjawab,
لا تجوز التهنئة بهذه المناسبات ؛ لأن الاحتفاء بها غير مشروع

“Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru’ (tidak disyari’atkan).”

Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam.

Yang menandatangani fatwa ini:

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh selaku ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Sholih Al Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid selaku anggota.

[Soal pertama dari Fatwa no. 20795]

Lihat di web Al-Lajnah Ad-Daimah di sini: http://alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=151&PageNo=1&BookID=12

14th Muharram 1432 H, Riyadh KSA

Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T (Penasihat Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites