This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, February 27, 2011

Antara Keluhan Orang yang Berilmu dan yang Jahil

Seorang jahil (orang yang bodoh) akan mengeluhkan (mengadukan) Alloh kepada manusia. Ini adalah puncaknya kebodohan akan siapa yang dikeluhkan dan siapa yang disampaikan keluhan kepadanya. Jika dia mengenal Robbnya, dia tentu tidak akan mengeluhkan-Nya. Dan jika dia mengetahui manusia, dia tentu tidak akan mengeluh kepada mereka. Sebagian salaf melihat seseorang yang mengeluhkan kekurangan dan kebutuhannya kepada orang lain. Maka dia (salaf) berkata, “wahai orang ini, Demi Alloh, engkau hanyalah mengadukan (Dzat) Yang merahmatimu kepada orang yang tidak merahmatimu.”


Tentang hal ini, dikatakan dalam syair,

وَإِذاَ شَكَوْتَ إِلَى ابْنِ آدَمَ إِنَّماَ تَشْكُو الرَّحِيْمَ إِلَى الَّذِي لاَ يَرْحَمُ

Jika engkau mengeluh kepada anak adam, sesungguhnya

Kau keluhkan ar-Rahiim (Alloh Yang Maha Penyayang) kepada yang tidak menyayangi

Seorang ‘arif (yang mengenal Alloh), hanya akan mengeluh kepada Alloh saja. Dan orang yang paling ‘arif adalah orang yang menjadikan pengaduannya kepada Alloh disebabkan karena dirinya bukan karena manusia. Sehingga dia mengeluhkan atau mengadukan penyebab penguasaan manusia atas dirinya.

Dia melihat kepada firman Alloh

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”
[as-Syuro (42): 30]


Dan firman-Nya,

وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Dan apa saja bencana yang menimpamu,maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” [an-Nisa (4): 79]


Dan firman-Nya,

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata, Darimana datangnya (kekalahan) ini? Katakanlah, Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
[Ali ‘Imron (3): 165]

Maka berarti ada tiga tingkatan,

Paling rendah, engkau mengadukan Alloh kepada makhluk.

Paling tinggi, engkau mengadukan dirimu kepada-Nya.

Dan yang pertengahan, engkau mengadukan makhluk-Nya kepada-Nya.



[Diterjemahkan oleh alBamalanjy dari “al-Fawa`id” karya al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah –rohimahulloh-, hal. 85, cet. Darul Aqidah]

Sumber Artikel : al-Bamalanjy

Saturday, February 26, 2011

Pintu-pintu Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah kata yang paling enak didengar, indah untuk dibayangkan namun paling pahit untuk diraih. Sebab kebahagiaan sudah menjadi cita-cita yang tertulis di setiap benak manusia. Di setiap pagi, siang, sore maupun malam telah menjadi topik yang hangat untuk selalu dibicarakan. Jika di suatu tempat ada kebahagiaan, maka manusia pun berbondong-bondong menuju kesana walaupun melintasi aral dan duri.
Banyak orang yang berangan-angan dan berkata, “Aku ingin bahagia”, namun ketika dihadapkan kepada jalan menuju kebahagiaan, maka ia berkata, “Itu bukan jalan hidup saya, saya tidak mau menempuh jalan itu, dan berbagai alasan lainnya setelah ia mengetahui bahwa jalan menuju kebahagiaan itu begitu terjal dan dipenuhi dengan onak dan duri. Hal ini menunjukkan bahwa kesungguhannya meraih kebahagiaan hanyalah isapan jempol.

Demikianlah jalan kebahagiaan yang telah digariskan oleh Allah –Ta’ala-, penuh dengan rintangan dan cobaan. Hal ini untuk mengetahui benar tidaknya pengakuan keimanan seorang hamba. Sebagaimana firman Allah –Subhana Wa Ta’ala-,“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
(QS. Al-Mulk: 2)

Namun sayangnya, karena ketidaksabaran dan mengikuti hawa nafsu membuat kebanyakan manusia enggan menempuh jalan kebahagiaan yang telah ditetapkan oleh Allah –Ta’ala-. Jalan-jalan kebahagiaan yang telah dibawa oleh para nabi dan rasul, telah ditinggalkan oleh kebanyakan orang.

Ketika mengajak manusia untuk men-tauhid-kan Allah, menegakkan sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan mentaati para ulama dan penguasa dalam hal yang ma’ruf, maka kita akan mendapatkan perlawanan yang hebat dari kaum muslimin sendiri. Ironinya, justru yang paling keras kebenciannya adalah orang-orang yang dianggap paham agama, karena merasa seruan tersebut sebagai penghalang dakwah dan bertentangan dengan tujuan kelompok.

Oleh karena itu, kali ini buletin akan memaparkan beberapa jalan menuju kebahagian baik di dunia maupun di akhirat berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih :

* Bertaqwa kepada Allah –Ta’ala-

Kata “TAQWA” sering terlintas di telinga kita dari lisan para khotib dihari jum’at. Namun, begitu banyaknya kaum muslimin yang menyepelekannya hingga kehidupannya sangat jauh dari bingkai ketaqwaan.

Lantas apa TAQWA itu? Para ulama telah menjelaskan batasan dan definisi taqwa. Diantaranya, Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahani mendefenisikan, ”Taqwa yaitu menjaga jiwa dari perbuatan yang membuatnya berdosa , dengan cara meninggalkan apa yang dilarang, dan hal itu menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan”[Lihat Al-Mufrodat fi Ghoribil Qur’an (hal. 545)].

Al-Imam An-Nawawi mendefenisikan taqwa dengan, ”Mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.”
[Lihat Tahrir Alfazh At-Tanbih (hal. 322)].

Oleh karena itu, orang yang tak menjaga dirinya dari perbuatan dosa, dan mengabaikan perintah Allah, maka dia bukanlah termasuk orang yang bertaqwa. Padahal, ketaqwaan itu merupakan kunci kebahagiaannya di dunia dan diakhirat. Allah –Ta’ala- berfirman,“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi rezki dari arah yang dia tidak sangka-sangka”
(QS. Ath-Thalaq :2-3).

Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, ”Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas di benaknya.”
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/400)]

Bahkan Allah – Subhana Wa Ta’ala- menjanjikan bagi orang-orang yang bertaqwa, akan dilimpahkan berkah dari langit dan bumi sebagaimana firman-Nya,

“Jikalau sekiranya penduduk negri-negri itu beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri” . ( Al-A’raf :96).

Karenanya, setiap orang yang menginginkan kebahagiaan dan keluasan rezki serta kemakmuran hidup, maka hendaknya ia mentaati perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Janganlah mencari kebahagian itu dengan cara yang haram bahkan sampai bersusah payah ke dukun, sebab dukun itu sendiri bersusah payah mencari kebahagiaannya dengan cara menipu manusia.

* Bertaubat dan ber-istighfar .

Kebanyakan manusia, menyangka bahwa istighfar dan taubat cukup dengan lisan saja. Sehingga istighfar-nya tidak memberikan pengaruh didalam hatinya dan anggota badannya. Akhirnya, ia tak jujur dalam taubatnya, dan terus larut dalam dosa.

Para ulama telah menjelaskan hakekat taubat dan istighfar. Diantaranya Al-Imam Ar-Roghib Al-Ashfahani menerangkan, ”Dalam istilah syara’, taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukannya, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan memperbaiki amalan (yang sholeh) dengan cara mengulanginya. Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna”.
[Lihat Al-Mufrodat fii Ghoribil Qur’an (hal. 83)]

Al-Imam An-Nawawi berkata,” Para ulama berkata, ”bertaubat dari seluruh dosa hukumnya adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia harus menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatannya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya berkaitan dengan orang lain, maka syaratnya ada empat. Yaitu, ketiga syarat yang telah disebutkan diatas dan ke empatnya, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya, maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya, maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf.”
[Lihat Bahjatun Naazirin Syarh Riyadhish Sholihin (hal. 49)]

Pembaca yang mulia, istighfar dan taubat merupakan sebab-sebab kebahagiaan seseorang dan sebab keluarnya karunia Allah –Ta’ala- dari langit dan bumi. Sebagaimana yang telah diucapkan Nabi Nuh –‘alaihi salam- kepada kaumnya di dalam Al-Qur’an,
“Maka aku katakan kepada mereka,’mohonlah ampun kepada Tuhanmu’, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai, ”
( QS.Nuh :10-12).

Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, ”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadanya dan kalian senantiasa mentaatinya, niscaya Dia akan membanyakkan rezki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang didalamnya terdapat berbagai macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/449)]

Begitu besar dan banyaknya buah dari istighfar dan taubat berupa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Bahkan, barangsiapa yang ingin diberi kebahagiaan yang terus menerus, maka hendaklah selalu beristighfar dan bertaubat berdasarkan firman Allah,

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.”
(QS. Hud :3)

Oleh karena itu, seyogyanya bagi seorang muslim untuk senantiasa mengamalkan amalan ini. Sebab, dengan melaksanakannya, Allah akan menjamin kebahagiaannya dan menganugrahkan kenikmatan yang baik sampai pada waktu yang telah ditentukan.

* Berinfaq di Jalan Allah


Infaq atau sedekah merupakan amal kebaikan yang memiliki kedudukan yang tinggi didalam islam. Selain sedekah mendekatkan diri seorang hamba kepada Allah – Subhana Wa Ta’ala-, ia juga makin mempererat hubungan antara sesama manusia. Sebab, sedekah dapat melapangkan kesempitan, menghentikan dari meminta-minta, membantu orang yang lapar menjadi kenyang, memberikan kegembiraan kepada anak kecil, menyenangkan hati orang dewasa dan menciptakan kebahagiaan ditengah-tengah kaum muslimin.

Begitu banyaknya keutamaan sedekah sehingga ia bisa menjadi perisai dari api neraka. Memang wajar jika sedekah menjadi salah satu jalan menuju kebahagiaan. Banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa orang yang berinfaq di jalan Allah akan diberi ganti oleh Allah di dunia, dan ia akan meraih pahala yang besar di akhirat.

Allah – Azza Wa Jalla- berfirman,“Dan apa saja yang kamu infaq-kan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dialah Pemberi rizki sebaik-baiknya.”
(QS. Saba’ :39).

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Betapapun sedikitnya apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan apa yang diperbolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran”.
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/595)]

Allah berjanji akan menggantikan apa saja yang diinfakkan di jalan-Nya. Sedangkan janji Allah adalah benar, tak ada keraguan di dalamnya. Karenanya, seyogyanya kaum muslimin berlomba untuk meraihnya, dan jangan takut dan ragu terhadap janji Allah, saat setan menakut-nakutimu dengan kafakiran.

Allah - Azza Wa Jalla-berfirman,“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah : 268)

Saat menafsirkan ayat mulia ini, Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- berkata, ”Dua hal dari Allah dan dua hal dari setan.”Setan menjanjikan(menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan”. Setan itu berkata, ’jangan kamu infakkan hartamu, peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya’. ”Dan dia menyuruhmu berbuat kajahatan (kikir). Dua hal dari Allah, “Allah menjanjikan untukmu ampunan dari-Nya”, yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, dan “ karunia” berupa rizki.
[Lihat Tafsir Ath-Thabari (5/571/ no. 6168).

Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pula telah memberi kabar gembira kepada kaum muslimin agar jangan takut bersedekah.

Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدُ لِلّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Sedekah itu tidak mengurangi harta ; Allah tidak menambahkan kepada seorang hamba karena memberi maaf, kecuali kemuliaan; tidaklah seorang merendah hati karena Allah, kecuali derajatnya akan diangkat oleh Allah”.
[HR. muslim dalam Kitab Al-Birri (2588)]

Walhasil , inilah beberapa jalan-jalan kebahagiaan yang sempat kami sajikan. Masih banyak jalan-jalan yang belum sempat kami sebutkan karena keterbatasan ruang. Pegang teguhlah amalan-amalan ini, niscaya kalian akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebab kebaikan adalah dengan berpegang teguh terhadap sesuatu yang disyari’atkan Allah; keburukan segala-galanya adalah dengan berpaling darinya.

Allah -Ta’ala- berfirman,"Dan barangsiapa berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia ‘Ya Tuhanku, mengapa engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?. Allah berfirman,’Demikianlah, telah dating kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya dan begitu(pula)pada hari ini kamu pun dilupakan.”
(QS. Thoha: 124-126).

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 103 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber Artikel : almakassari.com

Wednesday, February 23, 2011

Kisah Nabi Syu'aib 'alaihissalam

Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Harits

Allah mengangkat Syu’aib 'alaihissalam menjadi Nabi dan mengutus beliau ke negeri Madyan. Kejahatan yang dilakukan penduduk Madyan tidak hanya melakukan kesyirikan tetapi juga berbuat curang dalam timbangan dan takaran. Juga melakukan kecurangan dalam bermuamalat dan mengurangi hak orang lain. Nabi Syu’aib 'alaihissalam mengajak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan melarang mereka berbuat syirik. Beliau juga memerintahkan agar berbuat adil dan jujur dalam bermuamalat, serta mengingatkan mereka agar jangan merugikan orang lain.

Nabi Syu’aib 'alaihissalam mengingatkan kaumnya tentang kebaikan yang telah Allah limpahkan kepada mereka berupa rizki yang beraneka ragam. Sesungguhnya dengan itu semua, mereka tidak perlu sampai menzalimi manusia dalam urusan harta. Nabi Syu’aib 'alaihissalam juga mengancam dengan adzab yang mengepung mereka di dunia sebelum di akhirat nanti. Namun mereka menyambutnya dengan ejekan dan menolak seruan itu sambil mengejek.

Mereka berkata:

يَا شُعَيْبُ أَصَلاَتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِيْ أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءِ إِنَّكَ لأَنْتَ الْحَلِيْمُ الرَّشِيْدُ

“Hai Syu’aib, apakah shalatmu (agamamu) menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.”
(Hud: 87)

Yakni, kami tetap akan bertahan menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami. Dan kami akan tetap berbuat terhadap harta kami dengan berbagai bentuk muamalat yang kami inginkan, tidak berada di bawah aturan atau ketetapan Allah dan para rasul-Nya.

Nabi Syu’aib 'alaihissalam berkata (sebagaimana firman Allah):

قَالَ يَاقَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلىَ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا

“Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan dianugerahkan kepadaku daripada-Nya rizki yang baik (patutkah aku menyalahi perintahnya?”
(Hud: 88)
Maksudnya, bahwa Allah  telah mencukupi aku (dengan rizki-Nya).

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيْدُ إِلاَّ اْلإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.”
(Hud: 88)

Yakni, tidaklah aku melarang kalian dari berbagai muamalat yang buruk dan di dalamnya terdapat perbuatan yang menzalimi manusia, melainkan aku adalah orang pertama yang meninggalkannya, padahal Allah telah memberi aku harta dan memperluas rizki untukku. Dan saya sangat membutuhkan adanya hubungan muamalat ini. Namun saya terikat dengan kewajiban taat kepada Rabbku. Saya tidak bermaksud dengan tindakan dan perintahku ini kepada kalian kecuali mendatangkan perbaikan. Artinya, semampu saya, saya akan berusaha agar keadaan dunia dan akhirat kalian menjadi baik.


وَمَا تَوْفِيْقِيْ إِلاَّ بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.”
(Hud: 88)

Kemudian beliau mengancam mereka dengan siksaan yang pernah menimpa umat-umat yang masa dan tempatnya di sekitar mereka.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

لاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِيْ أَنْ يُصِيْبَكُمْ مِثْلَ مَا أَصَابَ قَوْمَ نُوْحٍ أَوْ قَوْمَ هُوْدٍ أَوْ قَوْمَ صَالِحٍ وَمَا قَوْمَ لُوْطٍ مِنْكُمْ بِبَعِيْدٍ

“Janganlah sekali-kali pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu berbuat aniaya sehingga kamu ditimpa adzab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shalih, sedangkan kaum Luth tidak (pula) jauh dari kalian.”
(Hud: 89)

Beliau menawarkan kepada mereka agar bertaubat dan membangkitkan keinginan mereka untuk bertaubat. Nabi Syu’aib  berkata, sebagaimana firman Allah:

وَاسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي رَحِيْمٌ وَدُوْدٌ

“Dan mohonlah ampunan kepada Rabb kalian kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.”
(Hud: 90)

Namun semua seruan itu tidak berfaidah sedikitpun. Mereka berkata:

مَا نَفْقَهُ كَثِيْرًا مِمَّا تَقُوْلُ

“Kami tidak banyak mengerti apa yang kamu katakan.”
(Hud: 91)

Perkataan ini jelas karena sikap keras kepala mereka dan kebencian yang sangat besar terhadap kebenaran.

وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِيْنَا ضَعِيْفًا وَلَوْلاَ رَهْطُكَ لَرَجْمَنَاكَ وَمَا أَنْتَ عَلَيْنَا بِعَزِيْزٍ

“Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seseorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami sudah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.”
(Hud: 91)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قَالَ يَاقَوْمِ أَرَهْطِي أَعَزُّ عَلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَاتَّخَذْتُمُوهُ وَرَاءَكُمْ ظِهْرِيًّا إِنَّ رَبِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٍ

“Syu’aib menjawab: ‘Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandangan kalian daripada Allah, sedangkan Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya Rabbku meliputi apa yang kamu kerjakan.’”
(Hud: 92)

Dan ketika melihat kekerasan mereka, beliau berkata:

وَيَا قَوْمِ اعْمَلُوْا عَلىَ مَكَانَتِكُمْ إِنِّيْ عَامِلٌ سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ مَنْ يَأْتِيْهِ عَذَابٌ يُخْزِيْهِ وَمَنْ هُوَ كَاذِبٌ وَارْتَقِبُوْا إِنِّيْ مَعَكُمْ رَقِيْبٌ

“Dan (dia berkata): ‘Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa adzab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah (adzab Allah), sesungguhnya akupun menunggu bersama kalian.’ Dan ketika datang adzab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat dari Kami. Sedangkan orang-orang yang dzalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah mereka.”
(Hud: 93-94)

Kemudian Allah mengirimkan rasa panas yang hebat kepada mereka yang menyumbat pernafasan mereka sehingga mereka hampir tercekik karena dahsyatnya. Di saat demikian, Allah mengirimkan awan dingin yang menaungi mereka, lalu merekapun panggil memanggil untuk bernaung di bawahnya. Setelah mereka berkumpul di bawahnya, tiba-tiba muncullah nyala api demikian hebat membakar mereka hingga merekapun mati dalam keadaan mendapat adzab, kehinaan dan kutukan sepanjang masa.


Beberapa Pelajaran

1. Merugikan timbangan dan takaran secara khusus ataupun merugikan manusia secara umum merupakan kejahatan yang pantas menerima adzab di dunia dan akhirat.

2. Kemaksiatan yang terjadi pada seseorang yang sebetulnya tidak ada faktor pendorong dalam dirinya dan tidak pula berhajat kepada kemaksiatan itu, dosanya lebih besar dibandingkan orang yang bermaksiat didorong oleh suatu keinginan atau kebutuhan. Oleh karena itu, zina yang dilakukan oleh seorang tua atau orang yang sudah pernah menikah, jauh lebih buruk keadaannya dibandingkan zina yang dilakukan oleh seorang pemuda atau orang yang belum pernah menikah.

3. Begitu pula kesombongan pada diri seorang fakir (miskin), jauh lebih buruk keadaannya dibandingkan kesombongan yang dimiliki oleh seseorang yang mempunyai harta. Demikian pula pencurian yang dilakukan oleh orang yang sebetulnya tidak membutuhkan harta curian itu, dosanya jauh lebih besar daripada pencurian yang dilakukan oleh orang yang memang sangat membutuhkan harta yang dicurinya. Oleh karena inilah Nabi Syu’aib  mengatakan sebagaimana disebutkan dalam ayat:

إِنِّيْ أَرَاكُمْ بِخَيْرٍ

“Sesungguhnya aku melihat kalian dalam keadaan yang baik (mampu).”
(Hud: 84)

Yakni, kalian dalam keadaan penuh kenikmatan dan kesenangan yang berlimpah, maka apa sesungguhnya yang mendorong kalian sehingga kalian begitu tamak kepada apa yang ada di tangan manusia dengan cara yang diharamkan?

4. Pelajaran yang lain, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

بَقِيَّةُ اللهِ خَيْرٌ لَكُمْ

“Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu.”
(Hud: 86)
Di dalamnya terdapat dorongan untuk rela dengan apa yang diberikan Allah, merasa cukup dengan yang halal dan (menjauhi) yang haram, membatasi pandangan kepada milik sendiri dan tidak perlu melihat kepada harta benda manusia.

5. Dalam kisah ini, terdapat dalil bahwa shalat merupakan sebab terlaksananya suatu kebaikan dan meninggalkannya merupakan suatu kemungkaran serta ditunaikannya nasehat untuk sesama hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang-orang kafir mengetahui hal itu sebagaimana mereka katakan kepada Nabi Syu’aib 'alaihissalam,

firman Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan tentang ucapan mereka:

أَصَلاَتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِيْ أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءِ إِنَّكَ لأَنْتَ الْحَلِيْمُ الرَّشِيْدُ

“Apakah shalatmu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (Hud: 87)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)

Dari sini, diketahui hikmah dan rahmat Allah I mengapa Dia wajibkan shalat ini kepada kita lima kali sehari semalam, (yaitu) karena begitu tinggi nilainya dan betapa besar manfaatnya dan sangat indah pengaruhnya. Segala pujian yang sempurna hanya bagi Allah atas semua kenikmatan itu.

6. Seorang manusia dalam setiap gerak-geriknya dan dalam bermuamalat masalah harta berada di bawah ketentuan hukum syariat. Maka apa saja yang dibolehkan, itulah yang harus dikerjakan dan apa yang dilarang oleh syariat sudah tentu harus ditinggalkannya.

Barangsiapa yang menganggap dia bebas berbuat dengan hartanya dalam bermuamalat dengan cara yang baik ataupun buruk, maka sama saja keadaannya dengan orang yang menganggap amalan atau gerak-gerik badannya juga bebas tidak terikat aturan syariat. Dengan demikian, tidak ada bedanya menurut dia antara kekafiran dan keimanan, kejujuran dan kebohongan, perbuatan yang baik dan yang buruk, semua boleh.

Tentunya jelas bagi kita bahwa ini adalah madzhab (pendapat dan keyakinan) orang-orang ibahiyyin (yang menganggap mubah atau halalnya segala sesuatu), dan mereka ini merupakan sejahat-jahatnya makhluk. Dan madzhab kaum Nabi Syu’aib tidak jauh berbeda dengan madzhab ini.

Karena mereka mengingkari Nabi Syu’aib  yang melarang mereka dari muamalat yang bersifat dzalim, dan mengizinkan muamalat yang selain itu. Mereka menentangnya karena menganggap mereka bebas berbuat apa saja terhadap harta mereka.

Sama seperti ini adalah perkataan orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا

“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.”
(Al-Baqarah: 275)

Maka barangsiapa yang menyamakan antara yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah berarti dia telah menyimpang dari fitrah dan akalnya, setelah dia melakukan penyimpangan pula dari agamanya.

7. Orang yang memberi nasehat kepada orang lain, memerintahkan (kebaikan) dan melarang mereka (dari kejelekan), agar sempurna penerimaan manusia terhadap nasehatnya itu, maka apabila dia memerintahkan suatu kebaikan hendaklah dia menjadi orang yang mula-mula mengerjakan kebaikan tersebut.

Dan apabila dia melarang mereka dari suatu kemungkaran, maka hendaklah dia menjadi orang yang pertama sekali meninggalkan dan menjauhinya.

Demikianlah yang dikatakan Nabi Syu’aib 'alaihissalam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang.”
(Hud: 88)

8. Para nabi diutus dengan membawa kebaikan dan untuk memperbaiki, serta mencegah timbulnya kejahatan dan kerusakan. Maka seluruh kebaikan dan perbaikan dalam urusan agama dan dunia merupakan ajaran para nabi, terutama imam dan penutup para nabi tersebut yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Beliau telah menampakkan dan mengulang kembali landasan utama ini dan telah pula meletakkan dasar-dasar yang besar manfaatnya, di mana mereka berjalan di atasnya dalam berbagai urusan duniawi, sebagaimana juga beliau telah meletakkan dasar-dasar utama dalam urusan agama.

9. Pada dasarnya wajib bagi tiap orang untuk berupaya dengan sungguh-sungguh dalam kebaikan dan perbaikan, maka wajib pula baginya untuk meminta pertolongan Rabbnya dalam usaha tersebut. Dan agar dia mengetahui bahwa dia tidak mampu melakukan atau menyempurnakannya kecuali dengan pertolongan Allah, seperti yang dikatakan Nabi Syu’aib 'alaihissalam,

sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَا تَوْفِيْقِيْ إِلاَّ بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku berserah diri dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.”
(Hud: 88)

10. Seorang da’i yang mengajak umat kembali kepada Allah sangat membutuhkan sifat santun, akhlak yang baik dan kesanggupan mengimbangi perkataan dan perbuatan yang buruk yang ditujukan kepadanya dengan perbuatan yang sebaliknya. Dan sepantasnya dia tidak mempedulikan gangguan orang lain dan jangan sampai menghalangi mereka sedikitpun dari seruannya. Akhlak seperti ini yang paling sempurna hanya ada pada diri para rasul shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim.

Maka, perhatikanlah keadaan Nabi Syu’aib 'alaihissalam dan kemuliaan akhlaknya bersama kaumnya. Bagaimana beliau mengajak kaumnya dengan segala macam cara, sementara mereka justru memperdengarkan kepada mereka kata-kata yang buruk dan membalas seruan itu dengan perbuatan-perbuatan yang keji. Beliau 'alaihissalam tetap menunjukkan sikap santun, memaafkan mereka dan berbicara kepada mereka dengan kalimat-kalimat yang tidak keluar dari orang seperti beliau selain kebaikan.

Akhlak seperti ini adalah akhlak orang-orang yang berhasil dan memiliki keberuntungan yang besar. Dan tentunya pemiliknya mempunyai kedudukan mulia dan kenikmatan yang kekal di sisi Allah. Sehingga dengan ini semua, menjadi ringanlah baginya untuk mengobati umat yang telah demikian rusak akhlak mereka, (yang bagi orang lain) adalah suatu perkara yang sangat sulit dan bahkan lebih sulit daripada upaya membongkar sebuah gunung dari dasarnya.

Sementara itu kaumnya terus-menerus tenggelam dalam keyakinan dan pemikiran yang rusak dan bahkan mereka kerahkan semua harta, jiwa dan raga mereka untuk mengutamakan dan melebihkannya di atas segala-galanya. Apakah anda mengira, bahwa orang-orang seperti mereka ini akan merasa cukup puas hanya dengan ucapan semata bahwa keyakinan dan pemikiran yang mereka anut adalah salah dan rusak? Ataukah anda mengira bahwa mereka akan memaafkan orang yang mencaci-maki mereka dan menghina keyakinan mereka? Sekali-kali tidak, demi Allah.

Sesungguhnya mereka ini betul-betul membutuhkan bermacam-macam cara untuk memperbaiki keyakinan mereka, dan itu hanya dengan cara yang diserukan oleh para rasul. Di mana para rasul itu mengingatkan manusia dengan nikmat-nikmat Allah dan bahwa Dzat yang sendirian memberikan kenikmatan kepada mereka itulah yang sesungguhnya berhak menerima peribadatan, apapun bentuknya. Juga para rasul itu menyebutkan kepada mereka berbagai kenikmatan yang terperinci dan tidak mungkin dapat dihitung oleh siapapun kecuali Allah.

Para rasul itu mengingatkan pula bahwa dalam keyakinan dan pendirian mereka terdapat kerusakan dan penyimpangan, kegoncangan serta pertentangan yang dapat merusak keyakinan atau keimanan yang mendorong untuk ditinggalkan. Para rasul juga mengingatkan manusia tentang hari-hari Allah yang ada di hadapan dan di belakang mereka serta siksaan-Nya yang telah menimpa umat-umat yang mendustakan para rasul, mengingkari tauhid.

Mereka mengingatkan bahwa hanya dengan beriman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya akan mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan serta kemanfaatan dalam agama dan dunia, yang tentunya akan menarik hati siapapun dan memudahkan untuk mencapai semua tujuan.

Dengan ini semua maka seseorang membutuhkan sikap yang baik terhadap mereka dan minimal adalah bersabar atas gangguan dan semua keburukan yang muncul dari mereka dan selalu berkata lemah-lembut dengan mereka. Dan perlunya pula mengupayakan semua jalan yang mengandung hikmah dan berdialog bersama mereka dalam berbagai urusan dengan mencukupkan sebagian yang diizinkan (diterima) jiwa mereka untuk menyempurnakannya.

11. Diperhatikan pula perlunya mendahulukan hal-hal yang paling utama kemudian yang berikutnya. Dan yang paling besar usahanya melaksanakan semua ini adalah penutup para nabi dan imam seluruh makhluk ini, yaitu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Wallahu a'lam.

Sumber : AsySyariah.Com

Monday, February 21, 2011

Wajibnya Shalat Berjama’ah

Rasa’il fit Thoharoti wash Sholah

Alih Bahasa: Abu Mu’awiyah Muhammad ‘Ali ‘Ishmah As-Salafi

Dari Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada kaum muslimin, semoga Allah memberi mereka taufiq menuju apa yang dia ridloi dan mengumpulkan kita semua bersama orang-orang takut dan bertaqwa kepada Allah. Amin.

As Salamu ‘alaikum wa rahmatulahi wa barakatuhu. Amma ba’du:

Sampai berita kepada saya bahwa kebanyakan orang telah melalaikan penunaian shalat dengan berjama’ah. Mereka beralasan dengan penggampangan oleh sebagian ulama dalam masalah itu. Maka wajib bagiku untuk menjelaskan perkara yang agung dan hebat ini.
Selayaknya seorang muslim tidak meremehkan suatu perkara yang Allah malah menganggapnya besar dalam Al Qur’an. Dan rasul-Nya juga melakukan demikian. Semoga shalawat dan salam tercurah atas beliau dengan sebaik-baik shalawat dan salam. Allah sering sekali menyebut tentang shalat dalam Al Qur’an. Dan juga membuat masalahnya besar. Allah menyuruh untuk menjaganya dan menunaikannya dengan berjama’ah. Allah mengabarkan bahwa sikap meremehkannya dan bermalas-malas menunaikannya termasuk sifat orang munafik. Allah mengatakan dalam Kitab-Nya yang Jelas:

“Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha. Dan berdirilah (kalian semua) karena Allah (dalam shalat) dengan khusyu’ ”
( Al Baqarah: 238 )

Bagaimana seseorang akan dianggap “menjaga” shalat-shalat tersebut dan mengagungkannya, bila kenyataannya dia tidak mau menunaikannya bersama saudara-saudaranya dan meremehkannya.

Allah Ta’ala berfirman:“Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”
( Al Baqarah:43 )

Ayat yang mulia ini mengaskan wajibnya shalat dengan berjama’ah. Dan bersama-samanya orang yang shalat dalam shalat mereka. Kalau maksudnya hanya menegakkannya saja, tentu tidak akan sesuai dengan akhir ayatnya, yaitu: Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” Karena pada Allah memerintahkan untuk menegakkannya di awal ayat.

Allah berfirman:“Dan apabila kalian berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu merekashalat bersamamu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.”
( An Nisa’: 102 )

Walau dalam keadaan perang, Allah tetap mewajibkan shalat berjama’ah, maka bagaimana pula dalam keadaan aman?! Kalau seseorang diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah, tentu orang-orang yang sedang menghadapi musuh dan yang sedang bersiap menyerang mereka tentu lebih pantas untuk diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah.

Ketika realitanya tidak demikian, tahulah kita bahwa menunaikan shalat dengan berjama’ah adalah termasuk perkara wajib yang sangat penting. Dan tidak boleh bagi seorang pun untuk terlambat darinya. Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Saya sangat ingin agar ada yang memimpin pelaksanaan shalat, kemudian saya pergi bersama beberapa orang sambil membawa kayu bakar mendatangi rumah-rumah orang yang tidak mengikuti shalat berjama’ah, kemudian kubakar rumah mereka.”

Dalam shahih Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu, ia berkata: “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa tidak ada orang yang meninggalkan shalat berjama’ah kecuali dia adalah seorang munafik atau orang sakit. Dan pada masa itu orang sakit dipapah untuk bisa sampai kemasjid melaksanakan shalat.”

Ibnu Mas’ud berkata lagi: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamm telah mengajarkan kami Sunnah-Sunnah yang berisi hidayah, dan diantara Sunnah-Sunnah itu: Shalat di masjid yang disitu dilakukan adzan.”

Dalam shahih Muslim dari Ibnu Mas’ud juga, ia berkata: “Siapa yang ingin bertemu dengan Allah esok hari dalam keadaan sebagai seorang muslim, maka hendaklah dia menjaga shalat-shalat ini ketika diserukan adzan baginya. Karena Allah telah mensyari’atkan Sunnah-Sunnah yang berisi petunjuk bagi Nabi kalian, dan shala-shalat pada saat ada adzan baginya termasuk Sunnah-Sunnah yang berisi petunjuk itu. Kalau kalian shalat di rumah-rumah kalian , sebagaimana orang-orang yang tidak turut berjama’ah shalat di rumahnya, niscaya kalian akan meninggalkan Sunnah Nabi kalian. Dan bila kalian meninggalkan Sunnah Nabi kalian, pasti kalian akan sesat. Bila seseorang bersuci kemudian dia melakukannya dengan baik, kemudian menuju salah satu mesjid, maka Allah akan mencatatkan untuknya satu pahala bagi satu langkahnya. Dan mengangkatnya karena satu langkah itu satu derajat. Dan menghilangkan baginya karena langkah itu satu dosa. Kami (para sahabat) berpendapat bahwa tidak ada seseorang yang tidak ikut berjama’ah, kecuali doa seorang munafik yang tidak diragukan kemunafikannya. Dan dimasa itu seseorang ada yang mendatangi masjid untuk shalat berjama’ah dalam keadaan dipapah dua orang sampai masuk kedalam shaf.”

Dalam shahih Muslim juga dari Abu Hurairah, radliyallahu ‘anhu, ia berkata: “Ada seorang buta berkata: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang tetap ke mesjid. Maka apakah saya memiliki keringanan untuk boleh shalat di rumahku? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: Apakah engkau mendengar suara adzan memanggil untuk shalat? Kata orang itu: Ya. Kata Nabi: Maka penuhilah.”

Hadits-hadits tadi menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah dan wajibnya menegakkannya di rumah-rumah Allah yang Allah mengizinkan kita untuk meninggikan dan menyebut-nyebut Nama-Nya di dalamnya, banyak sekali. Maka wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan hal ini. Dan bersegera kepadanya serta saling berwasiat dengannya bersama anak-anaknya, keluarganya, tetangganya dan seluruh saudaranya kaum muslimin.

Itu sebagai sikap melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan sebagai sikap waspada terhadap apa yang Allah larang dan Rasul-Nya. Dan sebagai sikap untuk tidak meniru-niru kaum munafik yang Allah banyak mencela mereka karena akhlak-akhlak mereka yang jelek dan yang paling jeleknya: Mereka bermalas-malas menunaikan shalat.

Allah berfirman:“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir) : tidak masuk ke dalam golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.”
( An Nisa’: 142-143 )

Karena meninggalkannya dalam penunaian dengan berjama’ah adalah sebab terbesar untuk meningalkannya secara menyeluruh. Dan kita sudah tahu bahwa meninggalkan shalat adalah kufur, sesat dan keluar dari Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Antara seseorang dan antara kekufuran dan syirik adalah meninggalkan shalat.”
(HR Muslim dalam shahihnya dari Jabir radliyallahu ‘anhu)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Maka siapa yang meninggalkannya, dia telah kafir.”

Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan tentang pengagungan kepada masalah shalat, wajib menjaganya dan menegakkannya sebagaimana yang disyri’atkan Allah serta peringatan kepada orang yang meninggalkannya, banyak sekali.

Maka wajib atas setiap muslim untuk mejaganya pada waktunya dan menegakkannya seperti yang disyari’atkan Allah. Dan agar menunaikannya bersama saudara-saudaranya dengan berjama’ah di rumah-rumah Allah. Sebagai sikap taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta sebagai sikap waspada dari kemurkaan Allah dan sakitnya hukuman-Nya.

Bila kebenaran telah tampak dan jelas dalil-dalilnya, tidak boleh bagi seorang pun untuk berkilah darinya dengan berdalih kepada pendapat si A atau si B.

karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
( An Nisa’: 59 )

Allah Subhanahu juga berfirman:“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
( An Nur:63 )

Kita tahu banyak sekali faedah dalam shalat berjama’ah, yang paling jelasnya adalah adanya sikap saling mengenal dan tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran untuk terus mengamalkannya.

Juga disana kita bisa memberikan semangat kepada orang-orang yang suka meninggalkannya, memberitahu kepada yang tidak mengetahuinya, menjauhi jalan mereka, menampakkan simbol-simbol Allah diantara hamba-Nya, mengajak kepada Allah dengan ucapan dan amalan dan banyak lagi faedah yang lainnya.

Semoga Allah memberi taufiqnya kepadaku dan juga kepada kalian untuk bisa mengamalkan apa-apa yang membuat-Nya ridla dan kebaikan dalam urusan dunia dan akhirat. Dan semoga Allah melindungi kita semua dari kejelekan-kejelekan diri-diri kita dan amal-amal kita serta melindungi kita agar jangan sampai meniru-niru sifat kaum munafik. Karena Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia.

Judul Asli: Rasa’il fit Thoharoti wash Sholah

Karya: Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah

Penerbit Edisi Bahasa Arab: Daarul Wathan, Saudi Arabia, Riyadl, Jl. Ulya’l ‘Aam Pobox 3310 Tlp 4626124-4644659 cet. Perdana Dzul Hijjah 1410 H

Alih Bahasa: Abu Mu’awiyah Muhammad ‘Ali ‘Ishmah As-Salafi

Dalam Edisi Bahasa Indonesia dengan Judul: Wajib Shalat Berjama’ah

Diterbitkan Oleh: Maktabah Adz Dzahabi Jl. Pertempuran no. 21 Ling 8 P. Brayan Kota – Medan Hp 0812 64 02403

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu. Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya

Saturday, February 19, 2011

Singa-singa Padang Pasir di Perang Nahawand

Mereka adalah sosok pejuang pencari kemuliaan. Harapan yang lahir dari kejernihan iman, menjadikan mereka sebagai ksatria-ksatria tangguh dalam kancah jihad fi sabilillah. Terik panas gurun pasir, lembah gersang lagi tandus, pegunungan yang terjal, serta ancaman maut menghadang tidaklah menyurutkan langkah tegap mereka. Tentunya amalan yang selaras dengan ajaran agama, bukan tindakan teror khawarij yang membabi buta. Keinginan mereka tak lebih dari dua hal, hidup mulia dengan tegaknya Islam dimuka bumi atau gugur meraih syahid. Kemuliaan, keberanian, serta ketangguhan yang mereka miliki menjadikan mereka layak menyandang gelar “Singa-Singa Padang Pasir”.
SEKILAS TENTANG PERANG NAHAWAND

Perang ini merupakan peperangan berskala besar yang berlangsung pada tahun 21 H. Berbagai kisah heroik dan menakjubkan mewarnai jalannya pertempuran. Sebuah gambaran jihad fi sabilillah dimasa khalifah Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Peristiwa bersejarah ini berlangsung di Nahawand, sebuah kota besar yang terletak di Al-Hadhbah – Iran pada masa sekarang. Karena itulah peperangan ini dikenal dengan Perang Nahawand.

LATAR BELAKANG PEPERANGAN

Bertahap tapi pasti pasukan Islam berhasil menaklukkan negeri Syam (Romawi) hingga Baitul Maqdis. Penaklukan ini terus berlanjut dengan dikuasainya negeri Mesir, kemudian Iraq hingga Istana Putih (kerajaan Persia) di Madain jatuh ditangan kaum muslimin.

Singa-Singa Padang Pasir terus merangsek memasuki wilayah teritorial Persia. Bertubi-tubi kota demi kota berhasil dikuasai. Fenomena tragis ini menyulut kemarahan Yazdigird, raja Persia kala itu. Diapun melayangkan surat provokasi kepada para pimpinan wilayah disekitar Nahawand, memotivasi mereka untuk berangkat menyerbu wilayah kaum muslimin.

Upaya ini berhasil menghimpun sebuah pasukan besar berkekuatan 150.000 personil lengkap dengan persenjataannya. Detasemen gabungan artileri-kavaleri ini dibawah komando seorang panglima senior yang bernama Al-Fairuzan.

Merekapun bersepakat menyatukan kekuatan dan memobilisasi pasukan untuk menyerang kota Basrah dan Kufah. Rencana penyerangan pasukan Persia itu sampai kepada Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu di kota Madinah. Segera Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan kaum muslimin untuk berkumpul di masjid.

Beliau naik mimbar dan berkata: “Sesungguhnya hari ini adalah penentu bagi hari esok. Aku akan memberikan sebuah instruksi kepada kalian, maka dengarlah dan penuhilah! Jangan kalian saling berselisih sehingga kekuatan kalian menjadi sirna! Aku berkeinginan keras untuk maju bersama tentara-tentara yang berada di depanku hingga sampai di suatu tempat antara kota Basrah dan Kufah. Lantas aku akan himbau kaum muslimin untuk berangkat sebagai satuan tempur, hingga Allah memberi kemenangan kepada kita.”

Setelah mendengar gagasan-gagasan dari beberapa pemuka kaum muslimin, Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk mendahului menyerbu wilayah Persia, dan mengangkat seorang dari pasukan yang berada di Iraq sebagai panglima perang. Beliau berkata: “Demi Allah, aku akan mengangkat seorang panglima perang yang akan menjadi ujung tombak di saat bertemu musuh esok hari.” Mereka bertanya: “Siapakah dia wahai Amirul Mukminin?” Umar menjawab: “An-Nu’man bin Muqarrin”. “Dia memang pantas untuk hal itu,” sahut mereka.

PERSIAPAN PASUKAN ISLAM

Rencana penyerangan pasukan Persia merupakan ancaman besar bagi daerah kaum muslimin, terkhusus kota Basrah dan Kufah. Hal ini membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat sebelum pasukan Persia datang menyerbu.

Umar radhiyallahu ‘anhu segera memerintahkan Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu agar berangkat dari Kufah bersama pasukannya. Demikian pula instruksi diberikan kepada Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu agar berangkat bersama pasukannya dari Basrah.

Merekapun bergerak maju dengan membawa pasukan Islam dalam jumlah besar. Mereka benar-benar waspada atas segala kemungkinan yang akan terjadi. Hingga akhirnya seluruh pasukan Islam berkumpul di tempat yang telah disepakati, lengkaplah jumlah pasukan Islam menjadi 30.000 personil. Di dalamnya terdapat banyak pembesar sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemimpin Arab. Bertindak sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan Islam adalah An-Nu’man bin Muqarrin.

Sebagai langkah awal, An-Nu’man mengutus Thulaihah, ‘Amr bin Ma’dikarib, dan ‘Amr bin Abi Salamah sebagai satuan intelijen di depan pasukan, untuk mengumpulkan informasi keadaan musuh. Thulaihah berhasil menyusup ke dalam barisan pasukan Persia, sementara kedua rekannya kembali di pertengahan jalan. Bahkan Thulaihah Al-Asadi berhasil membunuh beberapa petinggi pasukan Persia, menawan salah satu pimpinan mereka, dan mendapatkan data akurat tentang kekuatan musuh.

Akhirnya, dapat diketahui bahwa tidak dijumpai adanya mara bahaya pada rute menuju Nahawand.

JALANNYA PEPERANGAN

An-Nu’man bin Muqarrin bersama pasukan Islam bergerak maju menuju Nahawand. Pasukan lini depan dipimpin oleh Nu’aim bin Muqarrin, pasukan penyerang di bawah komando Al-Qa’qa’ bin ‘Amr, sayap kiri dan kanan dipegang Hudzaifah bin Al-Yaman dan Suwaid bin Muqarrin. Adapun pertahanan belakang diatur oleh Mujasyi’ bin Mas’ud.

Di saat kedua pasukan berhadapan, An-Nu’man berikut pasukan Islam bertakbir tiga kali hingga mengguncang barisan musuh dan membuat mereka sangat ketakutan, kemudian An-Nu’man menginstruksikan agar pasukan Islam meletakkan perbekalan mereka dan segera mendirikan tenda-tenda.

Di saat persiapan sudah matang, instruksi telah diberikan kepada tiap pimpinan regu, peperanganpun tak terelakkan lagi. Pasukan Islam serempak menyerbu barisan pasukan Persia.

Pada hari-hari itu begitu tampak bukti keimanan, ketangguhan, dan keberanian pasukan Islam. Perbandingan jumlah pasukan yang tak seimbang itu tidaklah menyurutkan langkah milisi militan Islam, hingga pasukan Persia melarikan diri berlindung ke dalam benteng. Pengepungan segera dilakukan dengan sangat ketat dari segala penjuru. Sementara pasukan Persia leluasa keluar menyerang dan masuk berlindung ke benteng sekehendak mereka.

MAJELIS MUSYAWARAH MILITER

Tatkala pengepungan berjalan beberapa hari tanpa ada hasil yang diharapkan, para pimpinan pasukan Islam berunding bagaimana cara menghadapi musuh selanjutnya. ‘Amr bin Abi Salamah mengusulkan agar melanjutkan pengepungan. Sementara ‘Amr bin Ma’dikarib menyarankan untuk menyerang mereka.

Seluruh yang hadir menolak kedua usulan ini. Setelah itu, Thulaihah layaknya ahli strategi perang menyampaikan pendapatnya, agar mengutus sekelompok pasukan menyerang terlebih dahulu. Disaat pasukan kecil ini mendapat serangan musuh, maka mereka seolah-olah berlari kalah menuju pasukan inti. Disaat itu, seluruh pasukan menunjukkan kekalahan dan berlari mundur ke belakang.

Jika musuh telah yakin akan kekalahan pasukan Islam, niscaya mereka bersemangat menyerang dan keluar dari benteng secara keseluruhan. Saat itulah pasukan Islam berbalik menyerbu hingga Allah menentukan akhir pertempuran tersebut. Maka seluruh yang hadir menyepakati strategi ini.

PELAKSANAAN HASIL MUSYAWARAH

Dengan perintah dari An-Nu’man, Al-Qa’qa’ bin ‘Amr berikut pasukan penyerang maju mengepung benteng. Ketika pasukan Persia menyerang, Al-Qa’qa’ beserta pasukan berlari mundur dan terus mundur.

Akhirnya pasukan Persia terkecoh keluar dari benteng dan maju menyerang, hingga tak tersisa di dalam benteng kecuali para penjaga pintu gerbang. Bersamaan dengan itu, musuh telah mempersiapkan 30.000 tentara khusus yang diikat dengan rantai besi dan menaruh besi-besi berduri dibelakang mereka (setiap 7 tentara diikat menjadi satu agar tidak melarikan diri dari perang). Musuh terus melancarkan serangan dan memasang sejumlah manjanik (ketapel pelontar ukuran besar), menghujani pasukan Islam dengan batu-batu, hingga banyak tentara Islam yang terluka.

Sebagian tentara Islam mendatangi An-Nu’man, mereka berkata: “Tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada kami? Ijinkanlah bagi pasukan Islam untuk maju menyerbu musuh.” An-Nu’man menjawab: “Pelan-pelan…!”

Ketika matahari tergelincir, pasukan Islam segera melaksanakan shalat dhuhur. Setelahnya An-Nu’man menaiki kudanya, memeriksa pasukan seraya menasehati untuk senantiasa bersabar dan gigih dalam berperang.

Beliau memberikan instruksi, jika terdengar takbir pertama, maka hendaknya seluruh prajurit menyiapkan diri. Jika terdengar takbir kedua, maka hendaknya tidak ada satupun dari pasukan kecuali telah siap dengan senjatanya. Dan apabila takbir ketiga dikumandangkan, maka seluruh pasukan maju bergerak menyerbu. Beliau berkata: “Apabila aku terbunuh, maka Hudzaifah sebagai penggantiku. Apabila dia terbunuh, maka Fulan sebagai penggantinya (hingga menyebutkan tujuh orang dan terakhirnya adalah Al-Mughirah).”

Setelah itu, beliau memanjatkan doa di hadapan pasukannya: “Ya Allah… muliakanlah agama-Mu, tolonglah hamba-hamba-Mu, dan jadikanlah An-Nu’man sebagai syahid pertama pada hari ini, diatas kemuliaan agama-Mu dan kemenangan hamba-hamba-Mu.” Tentara-tentara Islampun menangis mendengar doa sang panglima, mereka patuh dan taat atas perintah yang telah diberikan. Lalu beliau kembali ke posisi semula.

BERKOBARNYA API PEPERANGAN

Siang itu, An-Nu’man dengan suara lantang bertakbir sekali dan mengibarkan panji perang, maka pasukan mulai bersiap-siap. Takbir kedua dikumandangkan dan pasukan semakin bersiap diri. Di saat takbir ketiga, maka dengan sigap seluruh prajurit serentak menyerbu memborbardir pasukan Persia, layaknya banjir besar yang tak terbendung. Pekikan takbir menggema pada setiap prajurit Islam yang maju menyerbu.

Kedua pasukan bertemu, tak pelak pedang-pedang pun beradu, debu-debu beterbangan, lemparan tombak tak dapat dihindari, dan begitu banyak jasad tentara Persia bergelimpangan, membuat suasana semakin membara. Tiap-tiap tentara Islam bertempur dengan gigih mempertaruhkan nyawa.

Sungguh, cahaya iman telah memasuki sanubari. Masing-masing regu mempunyai andil melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, musuh begitu terkejut mendapat serangan balik dari pasukan pemukul reaksi cepat garda Islam. Amukan singa-singa padang pasir benar-benar terjadi. Sementara panji perang yang dipancangkan An-Nu’man berkibar-kibar di atas kudanya, maju menyibak garis pertahanan pasukan Persia.

Permukaan bumi yang licin bersimbah darah membuat banyak kuda tergelincir karenanya. Bahkan kuda An-Nu’man tergelincir jatuh membuat dirinya terlempar. Ketika itulah, salah satu anak panah musuh menembus lambung beliau hingga ia meninggal karenanya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya.

Selanjutnya panji perang diserahkan kepada Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu. Perang terus berlanjut. Menjelang malam pasukan Persia mengalami kekalahan telak dan lari tercerai-berai dikejar pasukan Islam. Akhirnya, Al-Fairuzan pun berhasil dibunuh oleh Al-Qa’qa’ bin ‘Amr di tepi pegunungan Hamadan, Iran. Diperkirakan jumlah pasukan Persia yang terbunuh kala itu lebih dari 100.000 personil.

Akhirnya, kaum muslimin kembali meraih kemenangan sebagaimana dalam kancah peperangan lainnya. Sejarah yang senantiasa berulang dari masa ke masa dengan para pelaku yang berbeda. Kenyataan yang jelas terlihat oleh setiap mata, bukan hasil khayalan yang tak tentu arahnya.

Benarlah, generasi awal umat ini merupakan sekumpulan manusia terbaik di muka bumi ini.

Inilah sepenggal mata rantai perjuangan kaum muslimin. Kemenangan, kejayaan, dan kekhilafahan di muka bumi akan terwujud dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala tatkala mereka beriman dengan keimanan yang hakiki. Kemurnian ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bersih dari noda kesyirikan merupakan modal utama bagi sebuah kemenangan. Tak hanya itu, keteguhan diatas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan satu hal yang mutlak disamping perjuangan yang sarat dengan pengorbanan.

Wallahu a’lam.

Sumber : Buletin Islam AL ILMU Edisi: 3/I/IX/1432 H
Sumber Artikel : Situs Resmi Buletin Al-Ilmu Jember

Thursday, February 17, 2011

Kematian di Sekitar Kita Adalah Peringatan

Makna Kehidupan

Banyak manusia yang tidak memahami arti kehidupan. Mereka hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan hidup duniawi. Slogan-slogan mereka adalah memuaskan hawa nafsunya, “Yang Penting Puas”. Prinsip dan misi mereka adalah bagaimana mereka dapat menikmati kehidupan, seakan-akan mereka tumbuh dari biji-bijian, kemudian menguning dan mati tanpa ada kebangkitan, perhitungan dan hisab.
Milik siapakah mereka? Apakah mereka tercipta begitu saja? Ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri? Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu ataukah mereka yang menciptakan?
(ath-Thuur: 35)

Allah menciptakan kita, memberikan kepada kita kehidupan adalah untuk suatu tujuan dan tidak sia-sia:
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia?
(al-Qiyamah: 36)

Berkata Imam Syafi’i (ketika menafsirkan ayat ini): “Makna sia-sia adalah tanpa ada perintah, tanpa ada larangan.”
(Tafsirul Quranul Karim, Ibnu Katsir, jilid 4, cet. Maktabah Darus Salam, 1413 H hal. 478).

Jadi manusia hidup tidak sia-sia, mereka memiliki aturan, hukum-hukum, syariat, perintah dan larangan, tidak bebas begitu saja apa yang dia suka dia lakukan, apa yang dia tidak suka dia tinggalkan.


Hidup dan Mati Adalah Ujian
Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kehidupan dan kematian sebagai ujian. Siapa di antara manusia yang terbaik amalannya?

“(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
(al-Mulk: 2)

Fudhail bin Iyadh berkata: “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dengan sunnah”.
(Iqadhul Himam al-muntaqa min Jami’il Ulum wal Hikam, Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali, hal. 35)

Kita hidup di dunia adalah untuk diuji, siapa yang paling ikhlas amalannya hanya murni untuk Allah semata dan siapa yang paling sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallohu alaihi wasallam. Oleh karena itu kita perlu memperhatikan apa makna kehidupan dan apa makna kematian?

Saudaraku-saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Allah menciptakan kita adalah untuk satu tugas yang mulia yaitu beribadah hanya kepada-Nya. Allah turunkan kitab-kitabnya, Allah mengutus rasul-rasul –Nya adalah untuk misi ini.
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (adz-Dzariyat: 56)

Sehingga hidup kita ini tidaklah sia-sia, melainkan kehidupan sementara yang sarat akan makna dan kelak akan ditanya tentang apa yang kita perbuat di dunia ini.


Kehidupan di dunia hanya sementara
Ingatlah, kehidupan ini hanya sebentar. Pada saatnya nanti kita akan memasuki alam kubur (alam barzakh) sampai datangnya hari kebangkitan. Lalu kita akan dikumpulkan di padang mahsyar, setelah itu kita menghadapi hari perhitungan (hisab). Dan kita akan menerima keputusan dari Allah, apakah kita akan bahagia dalam surga ataukah akan sengsara dalam neraka.

Kehidupan setelah mati ini merupakan kehidupan panjang yang tidak terhingga. Kehidupan ini disebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah خالدين فيها (kekal di dalamnya) atau dengan أبدا (selama-lamanya) atau dengan istilah لا ينقطع (tidak akan terputus).

Sehari dalam kehidupan akhirat adalah lima puluh ribu tahun kehidupan di dunia. Maka kita bisa lihat betapa pendeknya kehidupan manusia yang tidak ada sepersekian puluh ribu dari hari kehidupan akhirat. Berapa umur manusia yang terpanjang dan berapa yang sudah kita jalani? Itu pun kalau kita anggap umur yang terpanjang, sedangkan ajal kita tidak tahu, mungkin esok atau lusa.

Oleh karena itu seorang yang berakal sehat akan lebih mementingkan kehidupan yang panjang ini. Seorang yang cerdas akan menjadikan kehidupan dunia sebagai kesempatan untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat yang abadi.

“Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi…. “(al-Qashash: 77)

Namun kebanyakan manusia lalai dari peringatan Allah di atas. Mereka lebih mementingkan kenikmatan dunia yang hanya sesaat dan lupa terhadap kehidupan akhirat yang kekal.

“Tetapi kalian memilih kehidupan duniawi, padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(al-A’laa: 16-17)

Allah hanya meminta kepada kita dalam kehidupan yang pendek ini untuk beribadah kepada-Nya semata dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Hanya itu. Kemudian Allah akan berikan kepada kita kebaikan yang besar di kehidupan yang panjang yaitu kehidupan akhirat


Kematian adalah pasti
Alangkah bodohnya kalau kita lebih mementingkan kesenangan sesaat dengan melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya manusia yang membuang kesempatan kehidupannya di dunia hingga kematian menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai ayat-Nya bahwa kematian pasti akan datang dan tak tentu waktunya. Jika ia datang tidak akan bisa dimajukan dan dimundurkan.

Allah Ta’ala berfirman:
“Tiap-tiap umat memiliki ajal (batas waktu); maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya”.
(al-A’raaf: 34)

“Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.
(Ali Imran: 185)

Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim (berserah diri).
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati melainkan kalian mati dalam keadaan Islam”.
(Ali Imran: 102)

Dengan demikian berarti kita harus selalu meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kita, sehingga ketika datang kematian kita dalam keadaan Islam.

Ibnu Katsir berkata: “Beribadah kepada Allah adalah dengan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah agama Islam karena makna Islam adalah pasrah dan menyerah diri kepada Allah… yang tentunya mengandung setinggi-tingginya keterikatan, perendahan diri dan ketundukan”.
(lihat Fathul Majid, Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaih hal 14)

Yakni kita diperintahkan untuk pasrah dan menyerah kepada Allah. Diri kita dan seluruh anggota badan kita adalah milik Allah, maka serahkanlah kepada-Nya.

“Ya Allah kami hamba-Mu, milik-Mu, Engkau yang menciptakan kami dan memberikan segala kebutuhan kami. Kami menyerahkan diri kami kepada-Mu, kami pasrah dan menyerah untuk diatur, dihukumi, diperintah dan dilarang. Kami taat, tunduk, patuh karena kami adalah milikmu.”

Inilah makna Islam sebagaimana terkandung secara makna dalam sayyidul istighfar:

أََللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا سْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

“Ya Allah Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang patut disembah) kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku di atas janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang aku perbuat. Aku mengakui untuk-Mu dengan kenikmatan-Mu atasku. Dan aku mengakui dosa-dosaku terhadap-Mu, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau”.
(HR. Bukhari, juz 7/150)

Tidaklah seseorang meminta ampun kepada Allah dengan doa ini kecuali akan diampuni.
Dengan ikrar dan pernyataan kita tersebut, kita sadar bahwa semua anggota badan kita adalah milik Allah. Untuk itu harus digunakan sesuai dengan kehendak pemiliknya.

Kita harus menggunakan tangan kita sesuai dengan kehendak Allah. Kita harus menggunakan kaki kita untuk berjalan di jalan yang diridhai Allah. Mata, lisan dan telinga kita harus dipakai pada apa yang dibolehkan oleh Allah karena pada hakekatnya semua itu milik Allah.

Siapakah yang lebih jahat dari orang yang menggunakan sesuatu milik Allah untuk menentang Allah?
Sungguh semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan akan ditanyakan langsung pada anggota badan tersebut. Mereka (anggota badan tersebut) akan menjawab dengan jujur di hadapan Allah untuk apa mereka digunakan.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya”.
(al-Isra’: 36)


Kematian sebagai peringatan

Ayat-ayat dalam alQur’an yang menceritakan tentang kematian terlalu banyak. Dan tidak ada seorang pun yang mengingkari akan terjadinya kematian ini. Namun mengapa kebanyakan mereka tidak menjadikan kematian sebagai peringatan agar bersiap-siap menuju kehidupan abadi dengan kebahagiaan di dalam surga. Sesungguhnya manusia yang paling bodoh adalah manusia yang tidak dapat menjadikan kematian sebagai peringatan. Dikatakan dalam sebuah nasehat:

مَنْ أَرَادَ وَلِيًّا فاللهُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ قُدْوَةً فَالرَّسُوْلُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ هُدًى فَالْقُرْآنُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ أَرَادَ مَوْعِظَةً فَالْمَوْتُ يَكْفِيْهِ
وَمَنْ لاَ يَكْفِيْهِ ذَلِكَ فَالنَّارُ يَكْفِيْهِ

“Barangsiapa yang menginginkan pelindung, maka Allah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan teladan, maka Rasulullah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup, maka al-Qur’an cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya.
Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka cukup baginya”.

Saat ini wahai kaum muslimin, kita masih mempunyai peluang dan kesempatan, maka sekarang juga kita harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk taat kepada rabb kita. Waktu ini bagaikan pedang, jika kita tidak mengisinya maka ia akan menikam kita.

Sebagaimana dikatakan oleh para salaf:

اَلْوَقْتُ كَالسَّيْفِ إِنْ لَمْ تُقَطِّعْهُ قَطَّعْكَ.

“Waktu itu bagaikan pedang, jika engkau tidak memutusnya (mengisinya) maka dia yang akan memutusmu (menghilangkan kesempatanmu)”.

Jika ia tidak cepat dimanfaatkan dia akan membunuh kesempatan kita.
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda:“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia lalai daripadanya: nikmat kesehatan dan nikmat kesempatan”.
(HR. Bukhari)

Kesempatan adalah suatu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada manusia. Namun sayang, kebanyakan manusia lalai daripadanya dan tidak menggunakan kenikmatan tersebut untuk taat kepada Allah, hingga kesempatan itu hilang dengan datangnya kematian.

(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 55/Th. II, tgl 21 Shafar 1426 H/01 April 2005 M , judul asli Kematian Sebagai Peringatan, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)

Diambil dari : http://al-ilmu.us/aqidah-and-manhaj/kematian-di-sekitar-kita-adalah-peringatan/

Monday, February 14, 2011

Takut kepada Allah `Azza wa Jalla

Al-Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim

Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-:

Kalian dalam perjalanan malam dan siang, umur-umur berkurang, amal-amal tercatat serta kematian datang dengan tiba-tiba. Siapa yang menanam kebaikan akan segera menuai kesenangan, siapa yang menanam kejelekan akan segera menuai penyesalan. Setiap penanam akan mendapatkan apa yang ditanam. Yang menjadi bagiannya tidak akan meleset darinya, dan ketamakan tidak akan meraih apa yang ditakdirkan. Siapa yang memberi kebaikan maka Allah –Subhanahu wa Ta’ala- akan memberinya kebaikan dan siapa yang menjaga diri dari kejelekan maka Allah –Subhanahu wa Ta’ala- akan menjaganya. Orang-orang yang bertaqwa adalah pemimpin, ahli fiqih adalah penuntun, dan duduk bersama mereka adalah tambahan (ilmu).
(Siyar A’lamin Nubala, 1/497)
Abu ‘Ubaidah -radhiyallahu ‘anhu- :

Ketahuilah, berapa banyak orang yang memutihkan baju tapi mengotorkan agama. Ketahuilah berapa banyak orang yang memuliakan dia sendiri padahal ia hina. Gantilah amal-amal jelek yang telah lewat dengan amal-amal baik sekarang!
(Siyar A’lamin Nubala, 1/18)

Qubaishah bin Qais Al-’Anbari -rahimahullah-:

Adalah Adh-Dhahhak bin Muzahim bila datang waktu sore selalu menangis, lalu ia ditanya: “Mengapa kamu menangis?” Ia menjawab: “Aku tidak tahu apakah amalku naik (diterima disisi Allah –Subhanahu wa Ta’ala-) pada hari ini.”
(Shifatush Shafwah, 4/150)

Al-Qasim bin Muhammad -rahimahullah-:

Kami pernah bepergian bersama Ibnul Mubarak dan banyak pertanyaan yang terlintas di benakku terhadap dirinya, apa yang menyebabkan lelaki ini dihormati hingga ia sangat populer di kalangan manusia? Jika ia shalat, puasa, jihad dan haji, kami juga shalat, puasa, jihad dan haji. Pada suatu perjalanan menuju Syam pada malam hari, kami makan malam di sebuah rumah. Tiba-tiba lampu mati. Seseorang berdiri mengambil lampu dan menyalakannya. Sejenak ia diam dan lampu menyala. Sesaat kemudian aku melihat wajah Ibnul Mubarak dan janggutnya basah dengan air mata. Batinku berkata: “Karena rasa takut itulah lelaki ini dihormati melebihi kami, barangkali ketika lampu dibawa, ia berjalan menuju kegelapan dan mengingat hari kiamat lalu menangis.”
(Shifatush Shafwah, 4/140)

Ibnu Syaudzab -rahimahullah-:

Ketika Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- wafat, dia menangis. Ia ditanya mengapa menangis, ia menjawab: “Jauhnya perjalanan akhirat, sedikitnya bekal, dan perjalanan menanjak. Orang yang jatuh ke dalamnya bisa jadi jatuh ke dalam surga atau ke dalam neraka.”
(Siyar A’lamin Nubala, 1/694)

(Dipetik dari Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf, hal 17-18)

Sumber: Asy Syariah No. 4/1/Syawwal 1424 H/Desember 2003. Halaman 1. Katagori: Permata Salaf

Tuesday, February 8, 2011

Erosi Akhlaq

Gemerlapnya kota, gedung-gedung menjulang tinggi dengan kokoh, fasilitas dunia relatif lengkap, teknologi semakin maju, bidang medis hebat, pendidikan meningkat, dan sederet kemajuan yang menunjukkan kehebatan dan kekuatan. Semua ini adalah nikmat yang patut disyukuri.
Namun realita dan fakta di lapangan melaporkan bahwa kekokohan lahiriah dan dunia seperti ini tidak ditopang oleh kekokohan batin, yakni aqidah dan akhlaq karimah!! Kemajuan lahiriah jika tidak ditopang oleh aqidah dan akhlaq, maka ia ibaratnya pohon yang menjulang tinggi, namun batangnya keropos.

Nikmat dan kemajuan seperti ini wajib disyukuri dengan memanfaatkannya dalam perkara ketaatan. Jangan nikmat ini malah menjadi sebab datangnya musibah seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu. Karenanya, Allah -Ta’ala- mengingatkan orang-orang Bani Isra’il (Yahudi) ketika mereka mulai ingkar nikmat,
"Tanyakanlah kepada Bani Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata, yang telah Kami berikan kepada mereka". dan barangsiapa yang menukar nikmat Allah setelah datangnya nikmat itu kepadanya, maka Sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya.
(QS. Al-Baqoroh: 211).

Apa yang terjadi pada Bani Isra’il juga mulai terjadi pada umat Islam. Ini tergambar pada iman dan akhlaq pada setiap muslim di zaman kita. Perhatikanlah kanan-kiri kita; kita akan menemukan keajaiban dengan terjadinya kerusakan. Kerusakan itu terjadi sedikit-demi sedikit, seperti gunung yang mengalami erosi sampai kita tak lagi melihat lagi gunung yang dahulu menjulang kokoh, bahkan bekasnya tak lagi, rata dengan bumi.

Demikianlah kondisi akhlaq pada umat ini; telah mengalami erosi yang perlahan-lahan mengikis identitas keislaman pada diri kebanyakan generasi muslim. Sehingga hampir-hampir kita tak lagi mengenal antara yang muslim dan kafir. Bahkan pada sebagian kondisi, kita tak mengenal identitas itu lagi pada diri dan penampilannya.

Dahulu kaum muslimin hanya berdo’a dan meminta hajatnya hanya kepada Allah saja. Sekarang lain, malah berdo’a, dan meminta kepada orang yang dianggap wali-wali & orang sholeh, atau tempat keramat dan kuburan.

Padahal Allah -Ta’ala- berfirman,
"Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyeru (berdo’a kepada) seseorangpun di dalamnya di samping (menyeru) Allah".
(QS. Al-Jin: 18).

Al-Hafizh Ibnu Katsir-rahimahullah- berkata, "Allah -Ta’ala- menyatakan demikian untuk memerintahkan para hamba-Nya agar mengesakan Allah dalam setiap kondisi ibadah, dan tidak ada seorang yang boleh diseru (dido’ai) selain Allah, serta tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun".
[Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (4/555)]

Dahulu para wanita menutup seluruh tubuhnya dengan jilbab yang tebal lagi lebar, tak membentuknya. Sekarang sudah banyak wanita tak lagi memakai jilbab; kalaupun pakai, yah pakai jilbab modern yang tak syar’i, karena jilbab macam ini tidak menutupi seluruh tubuh, tak lebar, dan tak tebal !!!

Padahal Allah -Ta’ala- berfirman :
"Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita mukminah, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
QS. Al-Ahzaab: 59).

Dahulu para pemuda kita sibuk membaca Al-Qur’an di malam hari dan mempelajari agamanya. Kini semuanya tinggal khayalan; diganti dengan kebiasaan jelek berupa menyanyi & mendengarkan musik, menonton TV, nongkrong di pinggir jalan sambil memetik gitar dan usil. Wah, sungguh sial !!

Padahal Allah -Ta’ala- berfirman :
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".
(QS. Luqman: 6).

Apa yang dimaksud dengan "perkataan yang tidak berguna"? Abdullah bin Mas’ud berkata,

هُوَ -وَ اللهِ- الْغِنَاءُ

"Demi Allah, itu adalah nyanyian".
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (21130), Ath-Thobariy dalam Jami' Al-Bayan (10/201), Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (5096), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok alaa Ash-Shohihain (3542). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (jilid 6/hal. 1017)]

Dulu seorang muslim mencintai orang-orang sholeh, semisal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para sahabat, dan pengikutnya. Kini telah berubah; malah mencintai dan mengikuti orang-orang kafir & fasik. Bahkan mengidolakan mereka. Buktinya ?!

Lihatlah pemuda kita lebih bangga dengan Bon Jovi, Michael Jakcson, Kurt Cobain, Meihem, Maradona, Bakcham, Ronaldo, dan lainnya. Lebih senang kepada para pemain musik, semisal Padi, Ungu, Ratu, Keris Patih, Samsons, Metallica, Iron Maiden, Nirvana, dan lainnya dibandingkan orang-orang yang sholeh tersebut. Musibah di atas musibah!!!

Padahal Allah -Ta’ala- berfirman : "Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau Saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah hizbullah (golongan Allah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung".
(QS. Al-Mujadilah: 22).

Syaikh Muhammad bin Sulaiman At-Tamimiy-rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang mentaati Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , dan mengesakan Allah, maka tak boleh baginya mencintai orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, walaupun orang yang ia cintai adalah kerabat terdekatnya".
[Lihat Tashil Al-Ushul Ats-Tsalatsah (hal. 11), cet. Dar Ibnu Rajab]

Dulu seorang muslim malu jika berdusta dan mencuri. Kini dusta malah menjadi bahan profesi bagi para pemuda dan pelawak; mencuri dan korupsi menjadi hobi bagi sebagian orang yang tak takut kepada Allah. Na’udzu billah min dzalika.

Padahal Allah -Ta’ala- berfirman :"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
(QS. Al-Maa’idah: 38)

Para pakar psikolog, dan ahli pendidikan berusaha mencari sebab terjadinya kerusakan akhlaq tersebut beserta solusinya. Namun mereka tak bisa sepakat dan mufakat; setiap pakar hanya sekedar meraba-raba bagaikan seorang yang buta berjalan di kegelapan malam. Padahal andaikan mereka mengambil penerang dari pelita Al-Qur’an, dan Sunnah, maka mereka akan sampai ke tujuan dengan selamat, tanpa pusing dan takut.

Ketika berselisih seperti ini, kita kembalikan kepada Allah & Rasul-Nya. Allah -Azza wa Jalla- berfirman :"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
(QS. An-Nisaa’: 59).

Al-Hafizh Ibnu Katsir-rahimahullah- berkata dalam menafsirkan ayat ini, "Ini merupakan perintah dari Allah -Azza wa Jalla- bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia berupa prinsip-prinsip agama, dan furu’-(cabang)nya agar perselisihan dalam perkara itu dikembalikan kepada kepada Al-Kitab (Al-Qur’an), dan Sunnah".
[Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/687)]

Bila kita kembali kepada Sunnah (petunjuk) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kita akan menjumpai bahwa sebab kemerosotan dan erosi akhlaq disebabkan oleh beberapa faktor asasi:

* Jauhnya Kaum Muslimin dari petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah
* Merebaknya Taqlid Buta kepada Kaum Kuffar
* Tipisnya Iman dalam Hati Generasi Muslim
* Hawa Nafsu yang Berkuasa
* Munculnya Acara-Acara yang Merusak lewat Media Massa –utamanya TV-

Terjadinya erosi dan krisis akhlaq dan moral seperti ini, kembali menyadarkan kita dari tidur yang panjang dan kelalaian yang akut. Sadarlah dari keterlenaan ini sebelum Allah -Azza wa Jalla- menurunkan adzab (siksan)-Nya sebagaimana yang terjadi pada umat-umat durhaka terdahulu. Jika Allah menurunkan adzab-Nya, maka ia tak akan menyisakan dan membedakan antara orang yang sholeh dan orang yang jelek. Semuanya akan dikenakan siksaan, jika tak saling mengingatkan, dan menasihati ketika melihat kemungkaran.

Allah -Ta’ala- berfirman,"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya".
(QS. Al-Anfaal: 25).

Semoga tulisan yang ada di depan anda merupakan sebuah upaya nasihat-menasihati diantara kaum muslimin sehingga kita tak diliputi adzab Allah pedih.

Terakhir, kami berdo’a kepada Allah sebagaimana dalam sebuah hadits riwayat Muslim,

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

"Ya Allah berikanlah hatiku ketaqwaannya, dan sucikan. Engkaulah Penolong dan Pemelihara-nya".

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 106 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

Sumber Artikel : almakassari.com

Friday, February 4, 2011

Nasihat Imam Asy-Syafi'i kepada Muridnya Imam Al-Muzany


Imam Muzany bercerita,”Aku menemui Imam Asy-Syafi’iy menjelang wafatnya, lalu aku berkata,”bagaimana keadaanmu pagi ini , wahai ustadzku?”

beliau menjawab, “Pagi ini aku akan melakukan parjalanan meninggalkan dunia, akan berpisah dengan kawan-kawanku, akan meneguk gelas kematian, akan menghadap kepada Allah dan akan menjumpai kejelekan amalanku. Aku tidak tau; apakah diriku berjalan ke syurga sehingga aku memberinya ucapan kegembiraan , atau berjalan ke neraka sehingga aku menghibur kesedihannya.”
Aku(Al-Muzany) berkata, “Nasihatilah aku”.

Asy-Syafi’iy berpesan kepadaku, “Bertaqwalah kepada Allah, parmisalkanlah akhirat dalam hatimu, jadikanlah kematian antara kedua matamu dan jangan lupa engkau akan berdiri di hadapan Allah. Takutlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, jauhilah apa-apa yang Dia haramkan, laksanakanlah segala yang Dia wajibkan, hendaknya engkau bersama Allah di manapun engkau berada. Jadikanlah diammu sebagai tafakkur, pembicaraanmu sebagai Dzikir dan pandanganmu sebagai pelajaran. Maafkanlah orang yang mendzolimimu, sambunglah orang yang memutus silaturrahmi kepadamu, berbuat baiklah kepada siapa yang bebuat jelek kepadamu, bersabarlah tehadap segala musibah, berlindunglah kepada Allah dari api neraka dengan ketaqwaan.”

Aku(Al-Muzany) berkata “Tambahkanlah (nasihatmu) kepadaku.”

Beliau melanjutkan, “Hendaknya kejujuran adalah lisanmu, menepati janji adalah tiang tonggakmu, rahmat adalah buahmu, kesyukuran sebagai thaharahmu, kebenaran sebagai perniagaanmu, kasih sayang adalah perhiasanmu, kecerdikan adalah daya tangkapmu, ketaatan sebagai mata pencaharianmu, ridha sebagai amanahmu, pemahaman adalah penglihatanmu, rasa harap adalah kesabaranmu, rasa takut sebagai jilbabmu, shadaqoh sebagai pelindungmu dan zakat sebagai bentengmu. Jadikanlah rasa malu sebagai pemimpinmu, sifat tidak tegesa-gesa sebagai menterimu, tawakkal sebagai baju tamengmu, dunia sebagai penjaramu dan kefakiran sebagai pembaringanmu. Jadikanlah kebenaran sebagai pemandumu, haji dan jihad sebagai tujuanmu, Al-Qur’an sebagai pembicaramu dengan kejelasan, jadikanlah Allah sebagai penyejukmu. Siapa yang sifatnya seperti ini maka syurga adalah tempat tinggalnya.”


Kemudian Asy-Syafi’iy mengangkat pandangannya ke arah langit seraya menghadirkan susunan ta’bir. Lalu beliau bersyair:

Kepada-Mu -wahai Ilâh segenap makhluq, wahai pemilik anugerah dan kebaikan-,

kuangkat harapanku, walaupun aku ini seorang yang bergelimang dosa.
Tatkala hati telah membatu dan sempit segala jalanku,

kujadikan harapan pengampunan-Mu sebagai tangga bagiku

Kurasa dosaku teramatlah besar, namun tatkala dosa-dosa itu

kubandingkan dengan maaf-Mu -wahai Rabb-ku-, ternyata maaf-Mu lebihlah besar

Terus menerus Engkau Maha Pemaaf dosa, dan terus-menerus

Engkau memberi derma dan maaf sebagai nikmat dan pemuliaan.

Andaikata bukan karena-Mu, tidak seorang pun ahli ibadah yang tersesat oleh iblis

bagaimana tidak, sedang dia pernah menyesatkan kesayangan-Mu, Adam.

Kalaulah Engkau memaafkan aku, maka Engkau telah memaafkan
seorang yang congkak, zholim lagi sewenang-wenang, yang masih terus berbuat dosa.

Andai kata Engkau menyiksaku, tidaklah aku berputus asa,
walaupun diriku telah Engkau masukkan ke dalam Jahannam lantaran dosaku.

Dosaku sangatlah besar, dahulu dan sekarang, namun maaf-Mu -wahai Maha Pemaaf- lebih tinggi dan lebih besar.”


[Tarikh Ibnu Asâkir juz 51 hal. 430-431]
Sumber: Majalah An-Nashihah vol.13 thn 1429 H/2008 M

Diambil Dari : Indahnyaislam.com

Tuesday, February 1, 2011

Menggapai Jannatullah Dengan Taubat


Sudah menjadi perkara yang maklum, bahwa tidak ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang sempurna. Manusia adalah tempat salah dan dosa. Lupa dan khilaf sudah menjadi sesuatu yang lumrah yang akan menimpa setiap insan. Selamat dari dosa dan kesalahan tidak dapat dimiliki kecuali oleh para Nabi ‘alaihimussalam.
Kalau kita mau menghitung, sudah berapa banyak dosa-dosa dan kesalahan yang kita lakukan hari ini, belum lagi hari kemarin, lusa, dan seterusnya. Bukan tidak mungkin kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa-dosa besar yang tanpa kita sadari pula. Semoga Allah melindungi kita.

Demikianlah keadaan manusia, Allah banyak menyebutkan di dalam Al Qur’an tentang keadaan manusia yang serba kurang. Diantaranya firman Allah (artinya):
“Manusia itu diciptakan dalam keadaan lemah.”
(An Nisa’: 28)
“Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)

Demikian pula Rasulullah menegaskan tentang kelemahan dan kekurangan anak cucu Adam ini. Dari sahabat Anas bin Malik , bahwa Rasulullah bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam (manusia) pasti sering berbuat kesalahan “Dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat.”
(H.R. Ibnu Majah no. 4251 dan lainnya)

Tidaklah Nabi mengatakan sebaik-baik manusia adalah yang tidak pernah bersalah, karena memang tidak ada seorang manusia pun yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali para Nabi. Tetapi Rasulullah menegaskan bahwa orang-orang yang bertaubat dan mengakui kesalahan, serta kembali kepada kebenaranlah yang terbaik di antara mereka.

Oleh karena itu, bila kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan kesalahan, maka segeralah bertaubat kepada Rabbul ‘alamin. Allah berfirman (artinya): “Bersegeralah menuju kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada al jannah (surga) yang seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.”
(Ali Imran: 133)

Anjuran untuk Bertaubat

Taubat, tidaklah sebatas usaha seorang hamba untuk memohon ampunan dari Allah , namun taubat ini sekaligus termasuk ibadah agung nan mulia di sisi-Nya. Karena perbuatan taubat itu merupakan perintah dari Allah .

Sebagaimana Allah berfirman (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,…”
(At Tahrim: 8)

Taubat juga merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah . Karena Allah sangat gembira melihat hamba-Nya yang tiap kali terjatuh dalam dosa dan kesalahan ia segera bertaubat dari dosa dan kesalahannya.

Sebagaimana sabda Nabi :
َللهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ إِذَا اسْتَيْقَظَ عَلَى بَعِيْرِهِ قَدْ أَضَلَّهُ بِأَرْضِ فَلاَةٍ
“Sesungguhnya Allah sangat gembira terhadap taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan salah seorang di antara kalian yang kehilangan untanya di padang pasir kemudian menemukannya kembali.”
(H.R. Muslim no. 2747)

Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah mengatakan:
إِنَّ اللهَ تَعَالى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مَسِيءُ النَّهَارِ وَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kejelekan pada siang hari, dan Allah membentangkan tangan-Nya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kejelekan pada malam hari, sampai matahari terbit dari barat.”
(H.R. Muslim no. 2759)

Rasulullah sebagai sang uswah hasanah (tauladan terbaik bagi umat Islam) tidak pernah meninggalkan amalan mulia ini, walaupun beliau seorang yang ma’shum. Beliau menyatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوا إِلَى اللهِ وَ اسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan beristighfarlah kepada-Nya, sesunggunya aku bertaubat kepada-Nya dalam sehari seratus kali.”
(H.R Muslim no. 2702)

‘Aisyah mengatakan:”Dahulu Rasulullah sebelum meninggal banyak mengucapkan:
سُبْحَانَ اللهِ وَ بِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ
“Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya aku memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Nya.”
(Muttafaqun ‘Alaihi)

Demikian pula para nabi sebelumnya, walaupun mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah mereka pun bertaubat dan mengajak umatnya pula untuk segera bertaubat. Seperti Nabi Adam dan Hawa, keduanya berdo’a (artinya):“Wahai Rabb-kami, kami adalah orang-orang yang berbuat zhalim pada diri-diri kami, kalau sekiranya Engkau tidak mengampuni (dosa-dosa) dan merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang celaka.”
(Al A’raf: 23)

Nabi Ibrahim juga berdo’a (artinya):
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
(Al Baqarah: 128)

Nabi Hud mengajak kepada umatnya (artinya): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya. niscaya Dia menurunkan hujan yang lebat bagi kalian, dan Dia menambahkan kekuatan kepada kekuatan kalian, dan janganlah kalian berpaling dengan berbuat dosa.”
(Hud: 52)

Nabi Shalih juga mengajak umatnya (artinya): “Maka mohonlah ampun kepada Allah, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan (do’a hamba-Nya).”
(Hud: 90)

Larangan Putus Asa Dari Rahmat Allah

Wahai saudaraku ketahuilah, sesungguhnya rahmat Allah itu sangat luas sekali.
Allah berfirman (artinya):“Sesungguhnya rahmat-Ku mencakup segala sesuatu.”
(Al A’raf: 156)

Sehingga tidak sepantasnya bagi seorang hamba untuk berputus asa dari rahmat Allah yaitu berupa maghfirah (ampunan) dari-Nya, walaupun dia merasa telah terjatuh dalam sekian banyak dosa dan kesalahan. Siapa yang berputus asa dari rahmat Allah, berarti ia telah menyempitkan rahmat Allah . Padahal rahmat Allah itu amat luas, dan Allah akan mengampuni semua dosa hambanya, bila ia mau bertaubat kepada-Nya .

Mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah (artinya): “Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku, yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
(Az Zumar: 53)

Al Imam Muslim di dalam kitabnya Shahih Muslim no. 2766 meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri , sesungguhnya Rasululah pernah menceritakan tentang kisah seorang laki-laki di zaman dahulu (sebelum diutusnya beliau ), yang telah membunuh 99 jiwa manusia dan ingin bertaubat. kemudian orang itu bertanya kepada seorang ahli ibadah, apakah taubatku bisa diterima? Ternyata ahli ibadah itu menjawab: Tidak mungkin diterima. Kemudian dibunuhlah ahli ibadah itu sehingga genaplah 100 jiwa manusia yang telah ia bunuh. Kemudian dia datang kepada seorang ulama’, apakah bisa diterima taubatku? Seorang ulama’ tersebut menjawab: Ya, (tentu taubatmu masih bisa diterima). Pada akhir kisahnya, Allah pun mencabut nyawa orang tersebut dalam keadaan diterima taubatnya.

Sehingga maha benar firman Allah , sebagaimana yang terdapat dalam hadits Qudsi, Allah berfirman:
سَبَقَتْ رَحْمَتِي غَضَبِي
“Sungguh rahmat-Ku telah mendahului kemurkaan-Ku.”
(H.R. Muslim no. 2751)

Dan sungguh benar pula berita dari sabda Rasulullah :
لَوْ أَخْطَأْتُمْ حَتَّى تَبْلُغَ السَّمَاءَ ثُمَّ تُبْتُمْ لَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ
“Kalau sekiranya kalian mempunyai dosa atau kesalahan sampai memenuhi langit kemudian kalian bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.”
(H.R. Ibnu Majah no. 4248, lihat Ash Shahihah no. 903, 1951)

Hakekat Taubat

Taubat itu tidaklah sekedar diucapkan secara lisan saja tanpa disertai hati yang tulus penu penyesalan dan tanpa upaya untuk beri’tikad baik. Karena taubat itu akan diterima oleh Allah bila telah memenuhi syarat-syaratnya.

Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Al Imam An Nawawi rahimahumullah dalam kitabnya Riyadhush Shalihin: “Para ulama mengatakan: Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib, jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia, maka syaratnya ada tiga:
Petama; hendaknya dia menjauhi maksiat tersebut,
kedua; hendaknya dia menyesali perbuatan tersebut,
ketiga; hendaknya dia bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut selama-lamanya. Jika hilang salah satu syarat-syarat tersebut di atas, maka tidak sah taubatnya.

Jika maksiat tadi berkaitan dengan manusia, maka syaratnya ada empat. Yaitu ketiga syarat di atas dan ditambah yang keempat; hendaknya dia membebaskan diri (mengembalikan) hak orang tersebut. Jika berupa harta atau sejenisnya, maka dia harus mengembalikannya ….”

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menambahkan syarat berikutnya, yakni hendaknya taubat itu dilakukan pada waktu-waktu masih diterimanya taubat. Yaitu selama nyawa masih belum sampai di kerongkongan (sakratul maut) dan selama matahari belum terbit dari barat (menjelang hari kiamat).

Allah berfirman (artinya):
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang melakukan kejelekan yang hingga apabila datang ajal kepada salah seorang di antara mereka, ia mengatakan: Sesungguhnya aku bertaubat sekarang.”
(An Nisa’ : 18)

Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai kerongkongan.”
(HR. At Tirmidzi no. 3537, dari sahabat Ibnu umar )

Dan sabdanya:
مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya.”
(HR. Muslim no. 2703)

Wahai saudaraku, sebenarnya hakekat taubat itu dapat mendorong orang yang bertaubat untuk memulai dan memperbanyak amalan-amalan shalih. Oleh karena itulah, Allah banyak menggandengkan taubat dengan amal shalih di dalam Al Qur’an. Diantaranya firman Allah (artinya): “Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amalan shalih, maka sesungguhnya dia itulah yang bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
(Al Furqan: 71)

Keutamaan Taubat
Sesungguhnya Allah telah menjanjikan keutamaan yang sangat besar kepada siapa saja dari hamba-Nya yang mau bertaubat dan kembali kepada kebenaran, di antaranya:

1. Penghapus dosa dan diganti dengan kebaikan
Allah berfirman (artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Maka pasti Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahanmu.”
(At Tahrim: 8)

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amalan yang shalih, maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Al Furqan: 70)

2. Mendapat keberuntungan di dunia dan akhirat
Sebagaimana firman Allah (artinya): “Bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu mendapatkan kemenangan.”
(An Nur: 31)

3. Mendapat kecintaan dari Allah
Allah telah menegaskan dalam firman-Nya (artinya): “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(Al Baqarah: 222)

4. Diturunkannya rizki dan barakah
Sebagaimana yang ditegaskan dalam firman Allah (artinya): “Dan hendaknya kalian memohon ampunan dari Rabb kalian dan bertaubatlah kepada-Nya. Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (memperoleh balasan) keutamaannya.”
(Hud: 3)

5. Penghalang dari adzab Allah
Allah berfirman (artinya): “Dan tidaklah Allah mengadzab mereka, sedang mereka terus beristighfar (memohon ampun).” (Al Anfal: 33)
Sebaliknya, Allah mengancam bagi siapa yang enggan untuk bertaubat kepada-Nya, dengan firman-Nya (artinya): “Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.”
(At Taubah: 74)

Sumber Artikel : Situs Resmi Buletin Al-Ilmu Jember

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites